Tom Heneghan, redaktur agama di Reuters, menyebut kasus penerbitan dan penerbitan ulang kartun Nabi Muhammad di Denmark dan koran-koran Eropa seperti dialog tuna rungu. Pers Eropa tak mendengar pendapat umat Islam yang merasa terhina, dan umat Islam tak bisa memahami arti freedom of expression.
Ada batas yang mestinya dipahami kedua belah pihak dimana “pelecehan”, di satu sisi, dan “kebebasan berekpresi” di sisi lain. Batas itu, tentu saja bukan batas legal, right, melainkan batas “etis”, golden rule dalam ajaran luhur semua agama, bahwa “bila ingin dihormati, maka hormatilah orang lain”.
Mengapa batas legal (right) tidak mampu menyelesaikan persoalan ini? Pertama, kita sekarang hidup di kampung global yang tak lagi bisa dibatasi oleh jurisdiksi tertentu. Penerbitan kartun itu ada di wilayah hukum Eropa dan mayoritas orang yang merasa tersinggung berada di luar Eropa, di dunia Islam.
Kedua, kasus ini melibatkan perbedaan kultur, nilai, persepsi, sejarah, agama, dan bahkan politik yang tidak pernah akan terjangkau oleh hukum manapun. Walaupun ada mahkamah internasional, jurisdiksi mahkamah internasional tidak bisa menjangkau kompleksitas kasus ini. Umat Islam pasti lebih mendengar fatwa ulama mereka daripada fatwa Mahkamah Internasional.
Jadi, yang diperlukan adalah penyelesaian etis dan terhormat dari kedua belah pihak, saling menyadari dan bisa duduk dan melihat dari sudut pandang si lain.
Ketika Nabi Dilecehkan
Umat Islam sebaiknya kembali ke sejarah dan teladan Nabi Muhammad SAW. Semua Muslim paham benar bagaimana ketika beliau di Makkah dan mulai mengajarkan agamanya. Cacian, cercaan, pemboikotan, dan bahkan ancaman pembunuhan beliau terima.Ketika mencoba dakwah ke Taif, orang-orang menghujani beliau dengan batu hingga mengancam nyawanya. Malaikat Jibril yang geram datang menawarkan pembelaan, “Wahai Rasul, bagaimana kalau mereka diazab saja seperti umat-umat terdahulu?” Rasulullah yang tengah terluka dengan sabar menentramkan Jibril dan berdoa, “Ya Allah, berikan petunjuk kepada mereka, sebab meraka melakukan ini karena tidak memahami.”
Dalam kisah lain disebutkan bahwa salah seorang penduduk Makkah setiap hari meludahi beliau saat beliau shalat di Ka’bah. Namun, Beliau terima penghinaan itu sampai suatu hari orang itu tidak kelihatan di sekitar Ka’bah. Beliau memperoleh kabar bahwa si Fulan sedang sakit dan beliau kunjungi dia. Orang ini akhirnya memeluk Islam karena Muhammad yang ia hina setiap hari justru menjadi orang pertama yang menjenguk saat sakit.
Kartunis Denmark itu seorang non-Muslim yang membuat karyanya karena ketidak-pahamannya tentang Islam. Mestinya Muslim bisa bersikap seperti Nabi dengan mencegah kekerasan seperti yang hendak dilakukan Jibril, dan mendoakan mereka agar memperoleh petunjuk.
Kebebasan Berekspresi
Menurut harian Jillands-Posten, penerbitan kartun itu adalah untuk menguji batas-batas kebebasan berekpresi. Seperti dalam uji coba sebuah penelitian, mestinya setelah menimbulkan reaksi umat Islam, langkah berikutnya adalah mengevaluasi. Diizinkannya penerbitan ulang kartun itu di sejumlah harian di Eropa, tentu saja, lebih mudah dipahami sebagai provokasi daripada niat baik untuk “menguji kebebasan”.
Sikap pers Eropa, seperti sikap umat Islam, tentu saja juga berlebihan. Bukannya memberikan pemahaman yang baik kepada umat Islam tentang arti freedom of expression, kasus ini justru memberikan makna yang negatif pada “prinsip suci” kebebasan pers ini: kebebasan pers bisa disalahpahami juga mencakup bebas menghina orang lain.
Hal yang tidak diperhitungkan pers Eropa, dengan memancing emosi umat Islam untuk menuntut pembreidelan, kasus ini sama saja dengan memberikan dukungan secara tidak langsung kepada rejim-rejim otoriter di negeri Muslim untuk tidak memberikan kebebasan pers di negerinya. Bila kita perhatikan, tidak sedikit politisi di negara Muslim yang memancing di air keruh demi mempertahankan kursi kekuasaanya dengan “turut mengecam”.
Dengan kata lain, para pembela kebebasan pers di Eropa yang sebenarnya tak memerlukan lagi perlindungan kebebasan, hanya karena “coba-coba”, telah memukul telak gerakan kebebasan pers di negeri-negeri Muslim.
Sama-sama Rugi
Jadi, di pihak Muslim maupun di pihak barat sama-sama dirugiukan oleh kasus ini. Islam bisa jadi semakin identik dengan kekerasan karena reaksi umat Islam yang keras. Agama Islam ternoda di mata Barat karena ulah umat Islam yang berniat membela agamanya dari penodaan.
Di sisi yang lain, “pendakwahan” agama sipil — dalam istilah sosiologi — yang bernama freedom of expression terhantam oleh bumerangnya sendiri yang dilemparkan di Eropa. Umat Islam semakin sulit diyakinkan tentang pentingnya kebebasan pers karena yang disuguhkan kepada mereka adalah kebebasan untuk menghina orang lain.
Jika kedua belah pihak mengedepankan niat baik, kebebasan pers dan keyakinan agama semestinya tidak perlu menjadi musuh.
Posting Komentar