Seminggu yang lalu, hampir bersamaan denga berita soal Turkey, harian New York Times menurunkan sebuah laporan tentang "Indonesia, Islam, dan Demokrasi". Foto yang ditampilkan, tentu saja, yang bisa mengundang perhatian pembaca, seorang perempuan berjilbab duduk tak berdaya dihadapan algojo yang siap mencambuknya.
Kontak pertama si jurnalis pun dipilih dari pertemuannya dengan seorang anggota Front Pembela Islam:
SEVEN years ago, in the pre-9/11 fall of 2000, I was retrieving my luggage at the airport in Jakarta when a tall Indonesian man in a flowing white robe and green scarf accidentally bumped me off my feet.
He apologized and helped me up. Then I noticed he was part of a gang of grim young men stalking the airport with wooden rods.
He said they were from the Islamic Defenders Front and were searching for Israelis to kill. I doubt they found any, but I was shocked.
Such bullying and militancy contrasted sharply with the Indonesia I had come to know on previous reporting trips: a model of Islam as a tolerant, compassionate, inclusive and peaceful religion.
Kontras! Itu yang dia simpulkan karena Islam di Indonesia adalah Islam yang toleran. Lalu pertanyaan berikutnya yang dia lemparkan sebagai topik artikel ini adalah pertanyaan klasik kalangan cendekiawan Barat:
The many varieties of culture and styles of life in this enormous archipelago had bred a unique form of Islam — or, more precisely, many such forms, thriving side by side and often drawing on a rich pre-Islamic history replete with magic, Buddhism and South Seas gods. I had thought the prospects for retaining this style had only been enhanced by the coming of democracy in 1998.
It has not quite worked out that way, and now the big questions facing Indonesia are: Can Islam and democracy co-exist? And what would such a democracy look like?
Biasakah Islam dan demokrasi hidup bersama? Bagi saya, pertanyaan ini sudah tak tepat lagi. Indonesia, negeri Musli terbesar, sudah bereksperimen dengan demokrasi sejak dia masih muda: tahun 1955 kita letakkan batu pondasi demokrasi di negeri ini. Apakah Islam yang menyebabkan kegagalan demokrasi 1955? Bukan, tetapi seorang presiden yang tak sabar melihat proses revolusi berjalan lamban dan ingin mengamankan kekuasaannya.
Lalu, kekuatan Islam pula yang menjadi motor utama Reformasi demokratik 1998. Islam dan demokrasi bisa hidup bersama. Nah, yang menjadi sumber perbedaan bukan demokrasinya, melainkan liberalisme. Demokrasi yang liberal, bisakah Muslim menerimanya?
Artikel Selengkapnya : klik di sini
Posting Komentar