Saya tiba di Bandara Soekarno Hatta jam 8.00. Senang rasanya menghirup kembali udara Indonesia, negeri yang saya rindukan.
Tetapi, saya tahu bahwa saya tak bisa mengharapkan sambutan ramah dari negeri yang saya rindui. Saya sudah sejak dari semula membeli tiket langsung Singapura-Jogja dengan harapan tak perlu memasuki ruang publik pintu gerbang Indonesia di Cengkareng itu.
Saya tak mau bertemu dengan wajah-wajah garang saudara saya. Tak ada beda, apakah dia petugas bandara, pegawai cukai, atau… apalagi, calo-calo taksi dan ojeg yang siap “menguangkan” kita.
Tetapi saya tak punya pilihan. Karena kita datang di international terminal, maka kita harus keluar dan pindah ke domestic terminal, anyway. Di situlah daerah rawannya. Begitu keluar, troli saya langsung diapit dua orang satu berpakaian necis dan berdasi; dan satunya berpakaian preman galak.
Spontan saya bilang, “Saya tidak butuh taksi, saya hanya akan pindah terminal” Dan saya minta mereka untuk tidak mengusik saya. “Astaghfirullah Mas, begitu saj koq curiga” Si orang yang berpakaian necis mencoba menenangkan saya. Dan mereka pun terus mengutit saya. Mendengar dia bilang “Astaghfirullah”, saya pun – salahnya – segera berprasangka baik dengan si necis.
Tetapi, Jakarta dan mungkin Indonesia tak bisa kita nilai dari ucapan. Kita sudah menjadi bangsa yang antara ucapan dan tindakan tak pernah selaras. Kita sudah lama menjadi bangsa yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan kita sendiri.
Begitu di dalam lift, si preman segera menjalankan aksinya. Dia meminta uang kepada saya. Saya bilang, “Apa urusan saya dengan Anda koq saya harus memberi Anda uang?” Dia malah bilang,”Kita ini sesama indo; masak tidak bagi-bagi rejeki.”
Saya tidak memberinya uang dan untungnya dia tidak memaksa lebih jauh. Begitu lift terbuka si necis giliran beraksi. Dengan wajah ramhnya dia mengingatkan saya untuk mengambil jalan sebelah kiri. Tetapi saya sudah curiga dan segera saya bertanya kepada orang di situ untuk “memastikan bahwa saya disesatkan”… dan betul. Begitulah memang. saya ternyata masih tetap di terminal internasional.
Saya merenung kembali. Masih perlukah saya merindu Indonesia jika “sesama indo” saja tidak membantu dan malah memangsa?
Saya pun segera teringat beberapa teman dari Amerika yang sudah berjanji untuk mengunjungi saya suatu saat. Mereka pasti akan melewati “daerah rawan” ini. Bagaimana cara saya memastikan mereka untuk bisa selamat sampai di Jogja? Untuk bisa berjumpa dengan Indonesia yang “ramah”?
Posting Komentar