Kemenangan telak Partai Keadilan dan Pembangunan (lebih dikenal sebagai Partai AK) dalam pemilu minggu lalu di Turki, selain memperpanjang jabatan PM Recep Tayyip Erdogan untuk kedua kalinya, juga meneguhkan dua hal yang seringkali dipandang tak selaras: kemenangan demokrasi tetapi sekaligus juga kemenangan sebuah partai Islam.
Pemilu itu dianggap sebagai kemenangan demokrasi karena berhasil mencegah intervensi militer dalam krisis pemilihan presiden baru pengganti Ahmet Necdet Sezer yang masa jabatannya mestinya berakhir Mei lalu. Sejak tahun 1960, militer Turki telah menyingkirkan empat pemerintahan hasil pemilu, termasuk pemerintahan partai Islamis Refah yang dianggap mengancam sekularisme Turki.
Militer Turki yang menempatkan diri sebagai pengawal republik sekular warisan Ataturk memang tidak tinggal diam. Akhir bulan April lalu, milter sempat melancarkan “Kudeta Elektronik” (e-coup), istilah yang digunakan oleh para analis untuk menyindir ancaman intervensi militer yang dimuat lewat website angkatan bersenjata.
Saat itu PM Erdogan dan Partai AK bersikukuh mencalonkan Menteri Luar Negeri Abdullah Gul yang dikenal barhaluan Islam keras sebagai presiden. Pencalonan ini mengakibatkan bukan saja menimbulkan aksi demontsrasi terbesar dalam sejarah Turki teapoi juga mendorong partai oposisi sekular untuk memboikot sesi pertama pemilihan presiden dan mengakibatkan deadlock di parlemen.
Menanggapi tekanan dan ancaman intervensi militer, pencalonan Abdullah Gul pun dibatalkan dan PM Erdogan mengajukan usul untuk mempercepat pemilu yang semestinya dijadwalkan pada bulan September nanti dan untuk menyelamatkan demokrasi. Erdogan ingin menjawab tekanan itu seolah-olah dengan mengatakan, “Biarkan rakyat yang menetukan lewat pemilu.”
Selain kemenangan demokrasi, kemenangan Partai AK yang sudah teprediksi sebelumnya, di lain pihak, mengukuhkan dominasi Islam politik di Turki dalam satu dekade terakhir. Setelah pelarangan Partai Refah, Islam politik di Turki lahir kembali lewat Partai AK yang secara mengejutkan memenangkan pemilu tahun 2002.
Dengan kemenganan partai yang dianggap Islamis ini, akankah Turki yang selama ini menjadi satu-satunya negara Muslim sekuler di dunia akan memberikan eksperimen baru bagi harmoni Islam dan demokrasi?
Demokrasi dan Sekularisme
Kesalahan utama dalam melihat fenomena Islam politik selama ini adalah ketika demokrasi dan sekularisme dipandang sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Ataturk dan para pewarisnya tak bisa melihat adanya titik paut antara Islam dan demokrasi. Islam dan sekularisme sama-sama dimaknai secara kaku: Islam yang disamakan dengan teokrasi dan sekularisme yang dirumuskan dengan versi laicite Perancis.
Ketika Islam disamakan dengan teokrasi, tentu saja berbagai versi Islam yang pernah hidup dinafikan menjadi Islam politik yang dipraktikan dalam bentuk khilafah (seperti Turki pra-Ataturk) atau republik ayatollah versi Iran. Eksperimen demokratis, meski singkat, pada masa empat khalifah pertama pun hilang.
Demikian pula ketika sekularisme hanya dipahami dalam versi laicite Perancisnya. Ini adalah “sekularisme radikal” yang tak mengizinkan kehadiran agama meski sekedar secara simbolik di wilayah publik. Jika sekularisme hanya dibatasi dalam makna Prancisnya, maka fakta bahwa di Eropa pada umumnya agama masih memperoleh tempat eksklusif di wilayah publik menjadi tak terbaca.
Kampiun-kampiun sekular-demokrasi di Eropa, misalnya, masih tersentuh agama dalam kadar yang tak bisa diremehkan: mulai dari persyaratan beragama tertentu untuk menjadi raja, yang merupakan kepala negara, (seperti di Inggris dan Denmark), kurikulum pendidikan berbasis agama, sampai dengan praktik pengumpulan pajak gereja oleh negara di Jerman.
Dengan membatasi makna kedua kata kunci Islam dan sekularisme sedemikian rupa, tentu saja titik singgung antara Islam dan demokrasi menjadi lebih terbatas. Pengalaman sejarah Turki dan kemenangan Partai AK seharusnya membuka kembali batas-batas ini menjadi lebih longgar.
Mendefinisikan kembali Sekularisme
Selama lebih dari delapan dekade, Turki meniru sekularisme ala laicite Perancis dengan harapan untuk memodernkan Turki. Dalam proses itu, agama disingkirkan. Jika “kesetaraan” adalah bagian tak terpisah dari paket revolusi Perancis yang melahirkan konsep laicite, implementasi sekularisme radikal di Turki justru telah mendiskriminasikan kaum beragama dengan tak memberikan kebebasan berekspresi dan mempraktikan agama yang diyakini.
Lebih jauh, bahkan upaya membela sekularisme inilah yang pernah membunuh demokrasi di Turki dan selalu mengancam kelanggengannya ketika penjagaan ideologi sekular menjadi dalih militer untuk mengambil alih kekuasaan.
Kita memang tidak bisa membayangkan demokrasi tanpa sebentuk sekularisme yang menjamin hak setiap agama untuk hidup. Tetapi sebagaimana demokrasi adalah konsep yang memerlukan penerjemahan praktis dan kontekstual, sekularisme pun sudah dan terus memerlukan perjemahan yang lebih dari laicite Perancis: sekularisme yang dipraktikan secara beragam di negeri-negeri kampiun demokrasi dan mestinya memberi peluang penerjemahan kontekstual di negeri Muslim yang sedang belajar berdemokrasi.
i wish i had enough time to write some comments. my munaaqasah is amaamal bab :) next three days. pray 4 me please.
BalasHapusbtw, why don't you post this interesting article to our milist, sir, like u used to?
Suwun banget Dhif atas sarannya; nggak sempet aja ya... he he he
BalasHapusPosting Komentar