Sesekali jadilah makmum. Dengan menjadi makmum, Anda akan mengerti keadaaan jamaah yang Anda imami. Anda akan mengerti apakah cara Anda mengimami sesuai dengan kebutuhan makmum. Apakah 'selera' shalat Anda berkenan di 'lidah' para jamaah.
Pak Rahmadi, yang akan saya ceritakan hari ini, adalah jamaah paling rajin di Langar kami. Setiap subuh, ia selalu datang pertama, membuka pintu, menyalakan lampu, mengisi air kamar mandi bila berlu. Lalu, klik, ambil nafas, dan "Allahu Akbar Allahu Akbar!" Suara tenor-nya segera memecah kesunyian ujung malam. Kalau Anda seorang 'santri', yang terbiasa ngaji sejak dini, Anda tentu segera mendengar lafal-lafal janggal dalam adzan dan doa yang ia lantunkan sesudahnya. Tetapi siapa pun harus maklum, tidak semua orang harus pintar ngaji seperti kaum santri. Yang penting, semua orang perlu rajin mengaji. Seperti Pak Rahmadi.
Soal niat, kita pasrahkan saja kepada yang tahu rahasia hati. Pak Rahmadi ke langgar pagi-pagi memang karena harus segera pergi. Ia adalah sopir angkot jalur Kaliurang. Dari kampung kami di Bantul, tempat mangkalnya mungkin harus ditempuh dalam jarak 20 km, dengan waktu lebih dari 30 menit. Dan, ia berlomba dengan polisi. "Yen kawanen dicegat polisi mas, lewat jalur non-trayek bisa kena tilang." Ceritanya kepada saya soal 'bahaya' menyeberangi kota Jogja kalau lewat jam 5 pagi.
Pernah, suatu pagi, seperti biasa Pak Rahmadi melantunkan adzan dan membangunkan semua orang. Tetapi, tidak seperti biasanya, ia tidak melantunkan pujian shalawat nariyah dengan suaranya yang melengking itu. Saya yang biasanya nunggu iqamah baru ke luar rumah, diliputi tanda tanya, "sudah lima belas menit koq tidak iqamah?" Biasanya, yang begini ini, mbah Kaum sedang absen dan saya yang paling-paling harus ngi-mami. Maka saya pun bergegas ke Langgar. Tetapi, Pak Rachmadi ternyata sudah pergi. Ia adzan lalu ditinggal lari ngejar setoran karena mbah Kaum tak cepat datang.
Tadi malam, saat shalat tarawih, Pak Rachmadi mengingatkan satu hal kepada para imam yang sesemangat Ustadz Yusuf Mansur, "Pokoknya, Ramadan harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Nanti malam masjid kami akan taraweh dengan baca Qur'an satu juz. Sudahlah, jangan tergesa-gesa kalau shalat. Untuk apa cepat-cepat. Bukankah shalat itu nikmat?" Kurang lebih begitu nasehatnya di stasiun TV. Saya pun sempat mengiyakan nasehatnya dan bertekad akan shalat lebih baik puasa ini -- termasuk saat ngimami.
Tetapi Pak Rachmadi mengingatkan kita. Tidak semua jamaah seperti Yusuf Mansur. Saya yang shalat di barisan kedua, tepat di belakang Pak Rachmadi segera sadar: sayangilah jamaahmu. Si Imam yang membaca surat panjang dengan suara khusyu' dan merdu ternyata tidak selalu baik untuk jamaah. Pak Rahmadi yang shalat paling pinggir menyandarkan tubuhnya ke tembok, persis seperti kita saat antri tiket kereta api mudik. Capek dan mungkin tertidur karena dibacakan surat yang panjang!
Di antara jamaah pasti tidak sedikit yang seperti Pak Rachmadi. Seharian di jalan nguber setoran atau berpanas-panas di tengah sawah menanam padi. Mereka tidak seperti kelas menengah kota yang menjadi audiens Yusuf Mansur. Kerja memang, seharian mungkin, tetapi di ruang sejuk ber-AC. Bagi audiens Yusuf Mansur, makanan bergizi saat berbuka juga dengan cepat memulihkan tenaga mereka untuk taraweh. Tidak seperti Pak Rachmadi.
Jika ingin shalat yang panjang, jika ingin menamatkan satu juz per malam taraweh, pulanglah. Jangan shalat di masjid. Jangan berjamaah. Sebaik-baik shalat sunnah, kata Nabi, adalah yang ditunaikan di rumah. Malam ini, di kamar yang sepi, Anda bisa memulai. Sendiri.
Foto credit: azmifajriusman.com