Sewaktu kecil dulu, dari sekolah TK, Diniyah, dan MI, sekolah kami, Darul Huda, mengambil Jumat sebagai hari libur. Bagi kami dulu, libur Jumat adalah bagian dari identitas kami: sebagai orang Islam dan sebagai orang yang tak mau tunduk kepada rejim Soeharto.
Sebagai orang Islam, kami sama seperti lembaga pendidikan Islam lainnya di tempat kami, pesantren-pesantren juga libur hari Jumat. Mungkin juga tidak hanya sesama lembaga pendidikan Islam, dunia Islam (baca: Timur Tengah), juga libur hari Jumat. Sebab, Jumat adalah hari raya orang Islam.
Kami tidak mau libur hari Ahad. "Kita tidak mau tunduk pada orang-orang Golkar!" Kata beberapa guru Darul Huda yang sering ngobrol di rumah saya. Bapak saya adalah salah satu pengurus dan guru di yayasan ini. Saya mungkin masih kecil, tetapi saya mendengar diskusi-diskusi mereka tentang upaya meng-Golkar-kan daerah kami, Udanawu, benteng terakhir Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Blitar. Libur hari Ahad adalah salah satu bentuk penyeragaman Orde Baru dan sangat diwaspadai oleh orang-orang 'pembangkang' seperti kami di Wonodadi, Blitar. Jadi meski libur, Jumat adalah hari 'perlawanan'.
Tetapi, yang menarik, persoalan hari libur dan identitas bukan masalah kami saja. Riset online saya menunjukkan hari libur sebuah negara memang sangat bercorak identitas yang berakar ke masa yang jauh. Hari Ahad, libur yang dipilih negara-negara Barat, berasal dari unsur agama Kristen dan bahkan ke masa Constantine. Hari Sabtu adalah hari Shabbat orang Yahudi, dan Hari Juma't, seperti kita tahu juga, berasal dari tradisi Islam-Arab. Di Nepal, hari libur sabtu juga berasal dari ajaran suci Weda.
Soal hari libur dan identitas juga tengah menjadi perdebatan seru di Israel akhir-akhir ini. Secara resmi, Israel cuma punya hari libur Sabtu. Ahad, mereka mulai bekerja. Karena Shabbat dimulai hari Jumat sore, maka Jumat pun umumnya menjadi hari 'setengah libur', dan bahkan sepenuhnya libur karena warga Israel juga ada yang Arab-Muslim.
Ketika mereka merasa perlu menambah hari libur, maka perdebatan pun tak terelakkan. Mereka yang ingin mempertegas identitas ke-barat-an Israel, tentu ingin libur Sabut-Ahad. Mereka yang ingin menyesuaikan dengan kawasan, tentu ingin Jumat-Sabtu. Dan perdebatan pun tak ada usainya.
Sekarang, kabarnya, sekolah saya sewaktu masa kecil sudah tidak libur hari Jumat lagi. Maklum, lawan kami sudah tumbang. Tidak ada soal identitas keislaman atau perlawanan lagi kalau kami juga libur hari Ahad. Pragmatis saja, kami dulu waktu di TK sangat susah ketika harus menyanyikan lagu "Pada hari minggu kuturut ayah ke kota..." ayah koq ngajak anaknya mbolos :-)
Selamat berakhir pekan!
.
sumber:
http://www.nytimes.com/2011/07/07/world/middleeast/07israel.html?_r=1
http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-14417612
http://www.forward.com/articles/148385/
http://en.wikipedia.org/wiki/Workweek_and_weekend#Israel
.