Salah satu ciri Islam modern adalah sikapnya yang justru anti-modernitas. Paradoks. Seleagi modernitas yang berkembang di Barat mengusung rasionalitas; aliran-aliran modern dalam Islam justru mengkampanyekan Islam yang menekankan tekstualitas.
Gerakan Wahhabi, Salafi, dan dalam batas-batas tertentu Muhammadiyah, adalah contohnya. Muhammadiyah boleh saja menyebut diri sebagai gerakan pembaharuan pemikiran dan pengusung modernitas yang disimbolkan dengan berbagai pengadopsian teknologi dan pendidikan modern. Tetapi begitu sampai kepada urusan agama... nah, kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah (teks).
Contoh lainnya adalah Jihadisme Osama yang juga lahir dari paradoks modernitas: simbolnya Jihad, tetapi alatnya sangat Modern.
Fenomena kampanye nikah muda seperti yang saya tangkap dalam perjalanan hari ini di salah satu masjid di Jalan Parang Tritis Yogyakarta juga menunjukkan hal semisal: paradoks Islam dan modernitas. Paradoks terjadi mulai dari kemasan sampai dengan pesan.
Pertama, paradoks di pamflet. Desain pamflet dikemas secara sangat modern. Komposisinya sangat mengenal anak muda zaman sekarang yang lebih suka membaca komik Jepang daripada al-Qur'an. Karakter anak muda digambar ala Manga tetapi tanpa detail wajah (mengingatkan kita kepada cara menggambarkan para Sahabat dan nabi dalam komik-komik Islami tahun 80-an). Manga tetapi tanpa mata bulat!
Kedua, acaranya pun bukan pengajian. Apa coba? TALK SHOW. Pengajian mungkin akan terdengar menggurui, dan anak muda sekarang umumnya tak suka digurui. Agar mereka tak jengah datang ke acara ini, maka istilah talk show yang berbahasa Inggris (Barat dan modernitas lain) dipilih. Sekali lagi, paradoks. Modernitas diambil dengan suka hati, tetapi digunakan untuk melawan modernitas yang lain: enggan menikah.
Ketiga, soal menikah itu sendiri. Modernitas mendorong manusia untuk menjadi sangat individual. Kesuksesan individu diukur dengan, utamanya, kesuksesan material. Kesuksesan material tak bisa dicapai dengan mudah: butuh pendidikan yang cukup dan butuh pula waktu yang lebih panjang. Menikah tentu bisa menghambat manusia modern untuk mencapai segala kesuksesan (yang didefinisikan dengan materi tadi).
Melawan modernitas yang demikian, talk show nikah muda hendak menawarkan sesuatu yang menurut mereka lebih Islami: menikah muda. Nalar tak sadar Islam nikah muda cukup sederhana: asal bukan Barat, asal bukan modern yang seperti 'mereka'.
Apakah Islam sesungguhnya mengajarkan nikah muda? TIDAK. Jika kita menggunakan TEKS yang biasanya disakralkan gerakan ini, maka tidak ada teks yang menyuruh menikah muda.
Dalam hadits yang terpopuler soal menikah, justru yang ditekankan adalah BA'AH (kesiapan). Tidak seperti yang mereka pahami, Hadits itu mengatakan, "Wahai anak muda, menikahlah kalau kalian sudah siap!" (man istata'a minkum al-ba'ah fa l-yatazawwaj). Kalau tidak siap[? Ya jangan menikah anak muda! Hadits itu sebenarnya tidak mengatakan "menikah mudalah kalian!"
Assalamu'alaykum ustadz,, kebetulan saya singgah di sini setelah googling dengan keywords 'al qur'an' dan cukup tertarik dengan tulisan ustadz
BalasHapusJika berkenan saya ingin menanggapi (terlepas dari fakta bahwa saya kurang paham apa yg ustadz maksud dng: saat masyarakat barat mengusung rasionalitas, islam justru mengusung tekstualitas -- dalam artian, saya kurang paham apa yg dimaksud dengan tekstualitas)
Tanggapan saya terkait dengan kampanye menikah muda yg menjadi topik utama dalam posting ini. Menurut saya, pihak2 yg mengkampanyekan mengenai menikah muda tidaklah semata2 mengusung ide tersebut lantaran 'asal tidak sama dan berbeda dengan barat' namun lebih kepada memberikan solusi yg syar'i dibandingkan harus meng-halal-kan aktifitas2 yg kurang syar'i (misalnya pacaran atau justru na'udzubillaah berzina)
Maksud dari kampanye ini (menurut saya) bukan menyuruh atau menyarankan semua pemuda untuk menikah muda (dengan mengutip hadist yg ustadz sebut) tapi lebih kepada membekali para pemuda (dan pemudi) yg sudah ingin menikah (muda) namun belum siap, agar mereka menjadi siap (bukankah salah satu ikhtiar untuk mempersiapkan diri itu dengan menuntut ilmu?).
Mungkin (aduh, afwan, kebanyakan kemungkinan ya,,) pemilihan judul kegiatan atau brosur dari panitia saja yang membuat kampanye tersebut terkesan tidak semurni tujuan aslinya. Apa pun itu, saya memilih mengapresiasi niat panitia untuk berbagi ilmu dengan para peserta (karena, jika kondisi memungkinkan,, insya Allah saya juga ingin jadi peserta..) Wallaahu a'lam dan afwan jika ada kata2 yg kurang berkenan ustadz..
Posting Komentar