Berbeda-beda adalah watak dalam beragama. Jangan pernah berfikir Islam yang ideal adalah Islam yang satu -- entah itu satu tafsir, satu, kelompok, satu puasa! "Perbedaan adalah rahmat" mewujud dalam segala aspek agama.
Bukankah Allah kita satu, kiblat kita satu, dan Nabi kita satu? Ya, tetapi kita tidak pernah menghadap kiblat ke arah mata angin yang sama. Kita tidak juga menghadap Allah (shalat) dalam waktu yang sama. Dan apa yang menjadi wakil Nabi ke kita (koleksi Hadits) juga lebih dari satu. Jadi, dalam kesatuan A, B, C, dan D itu selalu ada A1, A2, A3, dan seterusnya. Islam yang satu dan bersatu hanya ada anjuran khutbah-khutbah idealis yang tidak memiliki dasar historis dan empiris.
Karena itu, jangan mudah mengkafirkan dan membid'ahkan. Hanya karena beda penafsiran soal ketuhanan, tentang sifat dan zat Allah, kita bisa memiliki Allah yang mungkin berbeda: Allah kaum Jabari yang otoriter atau Allah kaum Qadari yang partisipatoris. Keduanya BOLEH memaknai Allah mereka karena keduanya memiliki hak yang sama dalam menafsirkan Allah.
Demikian pula jangan suka membid'ahkan orang karena pada saatnya Anda yang suka membid'ahkan orang lain mungkin dengan bangga mengamalkan sebentuk bid'ah yang per definisi Anda kutuk.
Tahlil itu bid'ah, kata sebagian kelompok, karena per definisi "tidak ada contoh dari Nabi" dan "tidak ada DALIL KHUSUS" tentang paket bacaan kalimat tayyibah itu dalam literatur hadits mana pun. Tetapi, kata yang mengamalkan, "walau tidak ada perintah khusus, namun ada banyak hadits yang menyebutkan syarat doa yang maqbul, fadilah surat al-fatihah, fadilah surat al-ikhlas, fadilah surat al-baqarah dan ayat kursinya, keutamaan kalimat la-ilaha illah, yang dengan dalil-dalil itu maka dikumpulkan menjadi satu paket doa agar permohonan ampun dikabulkan."
Pada saat yang lain, pengecam tahlil juga bisa kekeuh dengan bid'ahnya sendiri. kalau setiap ibadah memerlukan contoh Nabi dan DALIL KHUSUS, maka Nabi tidak pernah berpuasa karena hisab dan tidak ada satu DALIL KHUSUS pun yang membolehkan kita untuk memulai puasa dengan dasar hisab semata.
Semua Hadits KHUSUS puasa, menyebut kata ru'yah dan hanya dalil-dalil umum soal pergantian waktu dan peredaran bulan yang menjadi dalil Hisab. kalau "waktu ibadah" juga sering dijadikan dasar membid'ahkan salaman sesudah shalat, yasinan di malam jumat, maka waktu mulai puasa juga rentan bid'ah.
Kriteria kafir dan bid'ah yang kita gunakan kepada orang lain suatu ketika juga cocok untuk tafsir dan amalan agama kita.
Awal Ramadhan hari ini adalah saat yang baik bagi kita untuk mengukur diri apakah kita akan selalu terjebak dalam jargon-jargon pengkafiran dan pembid'ahan terhadap perbedaan. Saya sendiri penggemar perbedaan dan sangat bahagia dengan keputusan Pak Dien Syamsuddin untuk tidak ikut sidang itsbat pemerintah. Saya tentu tidak setuju dengan alasan dan argumennya, tetapi saya bahagia jika cara berbeda ini menjadikan kita untuk tidak hanya minta ditolerir tetapi juga mentolerir perbedaan tafsir agama orang lain.
Selamat menunaikan puasa.
Posting Komentar