"Kalau puasanya dimulai Selasa, itu baik. Kalau puasanya dimulai Rabu, juga baik. Yang penting kita saling toleransi." Itu nasehat bijak yang sering saya dengar akhir-akhir ini. Tetapi, saya ingin segera memberikan "catatan kaki" untuk nasehat yang baik itu. Sebab, toleransi sering menjadi kata manis yang membungkus banyak persoalan. Pemerintah Orde Baru dulu juga giat menggalakkan toleransi, tetapi begitu kontrol negara lepas, apa yang tampak toleran menjadi kebrutalan. Konflik etnis meladak dimana-mana, konflik antar umat beragama hingga berapi dan berdarah. Karena toleransi yang dikembangkan tidak berangkat dari makna konsep toleransi yang utuh.
Pertanyaannnya begini, ketika kita mengatakan bahwa memulai puasa Selasa atau Rabu itu sama baiknya, dasarnya apa? Baik apanya? Bukankah ibadah itu soal sah dan tidak sah? Bukankah bulannya cuma satu? dan seterusnya. Maka, mari kita lihat dimana toleransi kita itu berasal.
Pertama: Toleransi bukan Tidak Peduli
Toleransi itu membiarkan orang lain menjalankan apa yang diyakini, tetapi 'membiarkan' itu berbeda dengan 'tidak peduli.' Toleransi yang baik harus lahir dari kepedulian, bukan ketidak-pedulian. Orang-orang non-Muslim tentu saja membiarkan kita mulai puasa Selasa atau Rabu, karena mereka tidak peduli, tidak ada kepentingan. Kalau tidak peduli dengan Selasa atau Rabu sama seperti ketidak-pedulian non-Muslim, ya berarti kita sesungguhnya tidak menganggap penting syarat sah puasa.
Kedua: Toleransi harus beradasarkan Ilmu
Nah, agar kita bisa toleran yang baik, kita perlu memiliki pengetahuan tentang bab yang kita perlu toleransi. Kita tidak bisa berhenti pada sikap menghormati orang yang taraweh 20 atau 8 tanpa kita tahu mengapa mereka menjalankan taraweh dengan jumlah rakaat seperti itu. Demikian juga dengan penetapan awal Ramadan. Kalau kita mengikuti keputusan sidang itsbat, apa alasannya dan apa dasar yang digunakan oleh pemerintah. Demikian juga kalau kita mengikuti Hisab PP Muhammadiyah, maka kita perlu belajar cara berhitung yang digunakan PP Muhammadiyah. Mungkin kita tidak akan paham secara detil karena berbagai sebab, tetapi kita harus mencoba memahami baik lewat membaca buku atau bertanya kepada mereka yang ahli.
Ketiga: Mengetahui Level Toleransi
Batas atas toleran dengan membiarkan kekeliruan itu sangat tipis. Ada saatnya kita perlu mengoreksi yang salah. Tetapi, kita harus ingat "salah" itu relatif. Relatif terhadap konteksnya. Misalnya, begini: Islam itu agama yang benar, Kristen agama yang 'salah'. Salahnya dimana? Ya, dalam ukuran relatifitas Islam tadi. Dalam level teologis internal pemeluk Islam. Kalau ada orang mengaku Islam tetapi beribadah di gereja dengan ritual Kristen, maka kita perlu mengoreksi orang tersebut. Tetapi kalau dia memang orang Kristen, maka tidak ada perlunya kita mengoreksi. Dalam level lain, non-Teologis, bisa jadi Kristen itu benar. Misalnya, dalam level bernegara dan bermasyarakat. Tidak ada yang salah dengan memilih beragama Kristen.
Tiga pilar inilah setidaknya yang diperlukan untuk membangun toleransi yang kokoh. Bagaimana menurut Anda?
Posting Komentar