Dalam bahasa pesantren dulu, kita sering mendengar soal level syariat dan haqiqat. Level syariat adalah level Fiqih. Di level Fiqih, kita penuhi segala syarat dan rukun. Jika terpenuhi, maka yang kita peroleh adalah 'keabsahan' puasa, gugur kewajiban, tidak berdosa. Titik. Level haqiqat adalah level yang lebih tinggi, level maknawi. Puasa tidak lagi diukur dengan sah-batal, tetapi "diterima" dan "ditolak".
Tentang dua tingkatan ini Rasulullah berpesan:
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له من صيامه إلا الظمأ ، وكم من قائم ليس له من قيامه إلا السهر " . رواه الدارمي وذكر حديث لقيط بن صبرة في باب سنن الوضوء .
Para da'i juga sering mengutip teori Imam al-Ghazzali tentang tiga tingkatan puasa (lihat artikel ini):
- Puasa Awam: Puasa dari makan dan minum
- Puasa Khawwas: Puasa indrawi (tangan, mata, telinga, mulut, hidung) dari segala jenis dosa
- Puasa Khawwas al-Khawwas: Puasanya hati dari berfikir tentang hal-hal yang dosa.
Sementara Ibn al-Arabi, membagi puasa dalam empat tingkatan (lihat di sini):
: إن الصوم على أربعة أنواع
صيام العوام ، وهو الصوم عن الأكل والشرب والجماع
وصيام خواص العوام ، وهو هذا مع اجتناب المحرمات من قول أو فعل
وصيام الخواص ، وهو الصوم عن غير ذكر الله وعبادته
وصيام خواص الخواص ، وهو الصوم عن غير الله ، فلا فطر لهم إلى يوم القيامة
- Puasa yang berorientasi pada peningkatan kapasitas pribadi (puasa tingkat 1-3 dalam definisi Ibn al-Arabi di atas)
- Puasa yang berorentasi spiritual-vertikal (level 4 dalam kriteria Ibn al-Arabi)
- Puasa yang berdampak sosial, yaitu puasa yang setelah semua tingkat personal-spirtual itu dicapai bisa menularkan keberkahan dan rahmat kepada lingkungan sekitar.
Posting Komentar