Sewaktu masih kecil dan baru mulai belajar puasa, ibu saya selalu sembunyi-sembunyi kalau beliau makan dan minum di siang hari. Demi memastikan saya tuntaskan puasa hari itu, ibu saya yang sedang haid memilih untuk pura-pura berpuasa. Pura-pura puasa tentu lebih mudah daripada menjelaskan hal rumit keharaman puasa bagi mereka yang haid kepada anak kecil yang bahkan baru bertanya kepada bapaknya, "untuk apa berlapar-lapar puasa..." -- inget Bimbo :)
Setelah saya semakin dewasa dan cukup mengerti bab Fiqih tentang siapa yang wajib dan siapa yang haram berpuasa, ibu pun menghentikan kepura-puraannya. Saya bahkan santai ngobrol apa saja sambil menemani beliau makan siang. Mungkin iman saya ya begitu-begitu saja, tetapi setidaknya saya sudah kuat menahan godaan lapar dan dahaga. Sebagai sesama orang yang 'berakal' dan 'dewasa', sudah tidak ada gunanya lagi menyembunyikan urusan makan minum seperti itu.
***
Saya kira, proses beragama yang berkembang 'mendewasa' seperti itulah yang seringkali mati di level bermasyarakat kita. Sebagai jamaah-masyarakat, cara kita menyikapi Ramadhan bukannya tambah dewasa, malah tambah kekanak-kanakan. Tangan-tangan kekuasaan akan segera turun, entah karena kepentingan politik atau karena tekanan kelompok Islam tertentu, untuk 'mengamankan' Ramadhan. "Tempat hiburan malam wajib tutup selama Ramadhan!" (Ada di daerah Anda?) "Warung makan harus diberi tabir agar yang makan tidak tampak di depan umum." (Pernah dengar kan?)
Nah, kira-kira adakah bedanya antara tindakan pemerintah itu dengan ibu saya dulu? Apakah kita, umat Islam, selalu ingin beragama dengan cara kekanak-kanakan?
Ada beberapa aspek dari model beragama yang menggunakan kekuasaan negara (atau kekuasaan preman ormas) seperti ini yang patut kita perhatikan.
Pertama: kultur pura-pura puasa. Warung-warung yang di balik tabir hanya menciptakan suasana seolah-olah puasa. Suasana Ramadhan yang ditimbulkan oleh 'kekhusyukan tabir' itu sekilas (ya, se-ki-las!) tampak baik, membantu mereka yang berpuasa untuk tidak tergoda makan Sop Ayam atau Es Degan. Tetapi ya itu tadi, 'membantu' mereka yang level puasanya masih kanak-kanak. Kalau mereka yang level puasanya sudah dewasa, mestinya akan cuek saja dengan urusan perut dan mulut seperti itu. Sudah 'lewat'. Tak akan tergoda walau ia di tengah-tengah pesta makan gratis sekalipun.
Kedua, puasa gagal menjadi proses 'penggemblengan'. Dalam bidang apa pun, mereka yang terhebat adalah mereka yang tersulit tingkat ujiannya. Kalau tempat hiburan dipaksa tutup, warung makan dipaksa bersembunyi, maka itu sama dengan menghilangkan salah satu soal ujian dalam puasa. Kita bahkan bisa menyebutnya sebagai 'kecurangan' sebagaimana kecurangan peserta tes Ujian Nasional yang dibantu gurunya.
Kalau sebagai 'jamaah' kita berpuasa dengan baik, warung-warung makan tidak akan laku dengan sendirinya. Wong mayoritas penduduk Indonesia itu, katanya, Muslim. Siapa yang akan beli makanannya -- kalau kita berhasil mendidik umat untuk berpuasa.
Ketiga, puasa mengajarkan kita untuk 'berproses', sabar, dan tertib, bukan mengambil jalan pintas. Tindakan sweeping dan penegakan aturan dengan tangan negara itu adalah cara 'termalas' untuk mendidik umat berpuasa. Sebagai 'jalan pintas', penggunaan kekuasaan negara adalah paradoks dengan ajaran puasa yang menekankan pada proses.
Puasa melatih kita, secara berjamaah, untuk semakin 'dewasa' dalam beragama, bukan sebaliknya. Kalau kenyataannya kita masih selalu kekanak-kanakan seperti ini, maka saatnya para guru ngaji, ustadz, dai, dan lembaga keagamaan intropeksi: kita gagal mendidik dan mendewasakan keberagamaan umat.
Posting Komentar