Saya hanya punya catatan pendek saja malam ini karena saya sedang bertanya dan belum menemukan jawaban yang memuaskan untuk ditulis. Apakah salah kalau saya meragukan bahwa puasa akan memperbaiki derajat 'STAF' kita -- siddiq, tabligh, amanah, fathanah?
Dari empat sifat nabi yang seharusnya kita warisi, siddik (jujur) sudah pergi entah kemana. Karena mulai dari mengerjakan tes ujian sekolah, ujian akhir semester, hingga ujian mencari SIM, kejujuran sering tidak kita pakai lagi. Wasiat Nabi yang bernama jujur tinggal menjadi kenangan.
Sementara, tabligh sudah menjadi jamaah yang sibuk ke sana kemari mengetok pintu mengajak shalat ke masjid, atau menjadi komoditas yang over-komersiil di TV. Tabligh, menyampaikan kebenaran dan risalah agama, sekarang sudah bertarif. Konon, tarif muballigh (si juru tabligh) bisa sampai puluhan juta.
Sedangkan amanah sudah jadi partai yang isinya juga bukan orang-orang yang amanah bener. Entah, hanya berapa gelintir dari pemimpin kita yang mengenakan baju amanah. Di lingkungan kita pun, orang sudah sulit memahami mana jabatan yang amanah dan mana jabatan yang serakah.
Ah, Fathanah, apalagi! Speechless.
Jadi, semakin akhir kita berpuasa, semakin saya ragu bahwa puasa ini adalah resep yang jitu bagi kebanyakan orang untuk bisa menjadi orang yang bertaqwa.
Puasa itu mungkin lebih tepat untuk disebut sebagai "ujian" daripada "sarana" untuk mencapai derajat taqwa. Karena puasa adalah ujian, maka ketaqwaan itu sesungguhnya harus dibangun jauh hari sebelum puasa, dan dalam waktu yang terus-menerus tanpa henti seperti kita sekolah 3 tahun atau kuliah 4-5 tahun itu, dan puasa menjadi ujian akhirnya.
Siapa yang dinyatakan bertaqwa itu bukan dilahirkan oleh proses 30 hari yang dilewati, tetapi sebaliknya, adalah mereka yang setelah dikuras energi taqwanya selama 30 hari masih bisa keluar dari ujian tetap dengan ketaqwaan yang tidak luntur. Lebaran akan menjadi hadiah atas ketangguhan ketaqwaan para muttaqin.
Posting Komentar