Para Ustadz sering mengatakan di mimbar-mimbar bahwa puasa itu mengajarkan kesetaraan antara yang kaya dan yang miskin. Puasa mengharuskan si kaya merasakan lapar dan dahaga. Si kaya,diasumsikan, bisa merasakan apa yang si miskin rasakan tiap hari. Tetapi, mari kita koreksi sedikit pandangan klasik ini.
Pertama, kalau bicara soal makan dan lapar, jumlah orang miskin yang lapar mungkin tak lagi banyak. Selain menerima raskin dari pemerintah yang bisa menjamin kelangsungan konsumsi mereka, kita lihat sendiri bahwa saat pembagian 'balsem' dan program-program semisal, mereka yang dikategorikan miskin datang dengan naik sepeda motor, berkalung emas, ber-hp smartphone atau memiliki dua unit HP. "Lapar", mungkin juga bukan pengalaman "orang miskin baru".
Kedua, si kaya mungkin lapar, tetapi, ia memperoleh fasilitas yang berbeda dengan si miskin. Sehingga derajat kesetaraan dalam lapar itu mungkin semu saja. Sama seperti tulisan sebelumnya, al-masyaqqah yang dihadapi oleh musafir kaya dan musafir miskin juga berbeda karena beda fasilitasnya. Misalnya, sama-sama ke Jakarta, naik pesawat dan kereta api tentu memiliki derajat al-masyaqqah yang berbeda. Sama-sama naik mobil, mereka yang nyetir Bian**, tentu memiliki al-masyaqqah yang lebih ringan dibanding yang nyetir Xe*** :p
Sekarang, coba saja klik foto di bawah ini. Saya rela saja Anda ejek, kalau saya terdengar 'nggumun' :)
Membaca tarif buka+takjil Rp 180.000, wong langgar seperti saya segera teringat bagaimana kemarin saat buka bersama kami anggarkan Rp. 10.000 per orang. Syarat dan rukun puasanya sama, tetapi saat berbuka, "puasa bintang empat" berharga 10 kali lipat dari bukber di langgar sebelah rumah. Jadi, dimana efek empatinya?
Allah dan Rasulullah, setahu saya, tidak pernah berbicara soal lapar sebagai media mendidik orang kaya agar empati kepada saudaranya yang miskin. Mungkin, nafsu kita untuk menjelaskan maksud Tuhan terkadang malah menjauhkan kita dari maksud Tuhan. Atau, sebaiknya, kita puasa sajalah. Biar Allah sendiri yang memberi tahu kita apa maksud perintah itu. Wallahu a'lam.
Allah dan Rasulullah, setahu saya, tidak pernah berbicara soal lapar sebagai media mendidik orang kaya agar empati kepada saudaranya yang miskin. Mungkin, nafsu kita untuk menjelaskan maksud Tuhan terkadang malah menjauhkan kita dari maksud Tuhan. Atau, sebaiknya, kita puasa sajalah. Biar Allah sendiri yang memberi tahu kita apa maksud perintah itu. Wallahu a'lam.
Posting Komentar