Semalam adalah giliran saya untuk memberi kultum di langgar sebelah. Itu adalah jadwal terakhir saya karena saya akan segera mudik. Sebelum berangkat, saya sudah menyiapkan sebuah ayat untuk dibahas. Tetapi, entahlah, tiba-tiba saja sehabis salam shalat Isya' saya teringat dengan beberapa orang jamaah yang telah mendahului kami.
Pertama, wajah sumringah Pak Sufyan, jamaah yang belum ada setahun meninggalkan kami, jamaah yang rencananya akan saya masukkan ke dalam jadwal pemberi ceramah ramadhan tahun ini di langgar kami. Pak Sufyan ternyata sudah pergi, Allah tidak memberinya umur lebih panjang untuk sampai ke Ramadhan.
Demikian juga dengan Pak Rohmadi, muadzin kami. Wajahnya segera muncul begitu saya naik mimbar dan melihat istrinya duduk di antara jamaah putri di baris belakang. Pak Rohmadi juga tidak mendapatkan tiket untuk bisa menunaikan Ramadhan tahun ini.
Dua orang dalam setahun di sebuah langgar kecil bukan jumlah yang sedikit. Jadi, siapa lagi yang akan pergi tahun depan sesudah Ramadhan? Selama lima tahun saya di sini, sudah lima orang jamaah yang berkurang. Satu tahun satu, satu anggota. Dua orang sudah berusia lanjut, dua orang berusia sedang, dan satu lagi masih muda (45 tahun). Usia mereka beragam, hanya satu yang kematian itu datang pelan-pelan dengan sedikit demi sedikit mengurangi frekuensinya si korban ke masjid. Selebihnya, maut datang begitu cepat, tak terduga, dan membuat kami terkejut bukan main.
Dari lima jamaah kami tersebut, ada satu orang yang saya tak kenal wajah dan namanya. Ia tak pernah ke langgar. Saat Maghrib itu dia ikut berjamaah, saya heran penuh tanya, siapa orang ini? Wajahnya pucat, kulitnya keriput membungkus tulang-tulang sepuhnya. Sehabis shalat, ia pun dengan susah payah berjalan meninggalkan langgar ditemani cucunya.
Kedatangannya yang aneh tak hanya mengundang tanya. Terbersit di pikiran saya, entah datang dari mana, mungkin orang ini sudah dekat dengan ajalnya. Saya sempat bertanya ke salah satu jamaah tentang orang itu dan mendapatkan keterangan kalau dia memang sudah bertahun-tahun sakit dan lebih banyak terbaring di tempat tidurnya. Hanya saja, dua hari ini dia merasa agak enak dan ingin ke langgar.
Maghrib itu menjadi maghrib pertama dan terakhir. Besok malamnya, Pak Kaum kampung kami sudah diundang ke rumahnya untuk memimpin pembacaan Yasin dan men-talqin Pak Fulan. Malam itu pun ia pergi, setelah pergi ke langgar sekali.
Kisah-kisah kematian jamaah kami tiba-tiba berkecamuk di fikiran saya. Semua bahan yang saya persiapkan dari rumah hilang begitu saja. Setelah berucap salam, saya hanya bisa melakukan dua hal: Pertama, mengajak jamaah untuk mengirimkan doa dan berkah al-Fatihah bagi mereka yang pergi; Kedua, memohon kepada Allah agar tahun depan kami mendapatkan Ramadhan lagi.
Dan bukankah seluruh nasehat ceramah dan kultum yang berbusa-busa itu intinya cuma satu: nasehat untuk bekal mati?
Catatan Ramadhan 2013.
Posting Komentar