Dari zaman sekolah dulu, saya, seperti kebanyakan dari kita, termasuk golongan orang-orang yang ribut mudik. Sejak SMA, saya menempuh pendidikan di luar kota: di Jember, di Solo, di Jogja, lalu di Jakarta. Oh, tentu di Seattle, Amerika yang tidak akan saya hitung dalam daftar tradisi mudik.
Saya hanya punya agenda sederhana saja soal mudik itu: pulang kampung. Titik. Saya tidak pernah serius memaknai mudik dengan hal-hal yang terlalu religius, atau menafsirkannya secara filosofis dan sosiologis. Mudik, ya mudik: pulang untuk berlebaran, dan menunaikan seluruh kewajiban tradisi lebaran yang diajarkan desa saya sejak kecil: silaturrahim ke sanak famili dan tetangga kanan kiri.
Sewaktu kuliah, ada teman dari Padang yang saya tanya, sebagaimana semua juga bertanya di akhir-akhir Ramadhan, "kapan mudik?" Tetapi bukannya jawaban sederhana soal hari dan tanggal saya memperoleh jawaban panjang, khas jawaban essai soal ujian akhir semester: Saya tidak mudik. Mudik itu "cuma" tradisi, saya tidak ingin larut dalam tradisi sebagaimana saya juga selalu berusaha melawan tradisi. intelektual itu tugasnya menciptakan tradisi, bukan mengikuti tradisi. kita harus bisa jadi trend-setter, bukan follower. dst. Wow, serius sekali kawan ini!
Ada juga kawan yang memaknai mudik sebagai kesakralan yang biasa diajarkan di mimbar-mimbar khutbah, dengan makna yang mendalam, kontras dengan kawan yang pertama tadi, "Mudik adalah tradisi luhur yang menyambungkan kita dengan identas asal usul kita. Jatidiri kita terasah kembali lewat mudik. Dan dengan jatidiri itu kita bisa mengarungi berbagai tantangan di tempat kita merantau."
Karena mudik itu dianggap sakral, maka ada yang berpesan di status facebooknya, seperti petugas NTMC Polri memperingatkan keamanan para pemudik, "Ayo luruskan niat mudik kita agar suci. Mudik bukan untuk pamer sukses, pamer keberhasilan pribadi, dan bukan untuk menunjukkan bahwa kita lebih hebat dari orang lain. Mudiklah dengan niat tulus murni. Menjalin silaturrahim dengan sanak famili. Melengkapi hati kita yang fitri."
Bagaimana dengan Anda? Mudik Anda mudik tradisi? Mudik post-tradisi? Mudik basa-basi? Apa pun. Izinkan saya berbagi ucap selamat jalan. Insyaallah, saya juga mudik. Lagi. Donga dinonga ya pak lik, pak dhe, mbok lik, mbok dhe. Semoga selamat di jalan dan bisa kembali lagi ke negeri rantau untuk melanjutkan perjalanan hidup.
Posting Komentar