Catatan Ramadhan (28): Mercon bin Petasan
Semalam saya terbangun dari tidur nyenyak saya, kaget luar biasa. Sebuah ledakan besar mengusik ketenangan pukul 02.30 malam. Selama Ramadhan, di Bantul, hanya satu hal yang sering membuat kami terjaga sebelum waktunya: salah satu jamaah langgar yang niatnya beribadah tetapi caranya salah! Ia membaca al-Qur'an dengan membunyikan pengeras suara (toa) sehingga semua penghuni kampung mendengar alunan Qur'annya yang tidak merdu itu!
Saya baru sadar, ini bukan Tamanan, Bantul. Saya sedang tidur di Pejagoan, Kebumen, di sebuah kampung di bawah kaki bukit di dekat Sungai Luk Ulo. Ledakan itu bukan ledakan bom teroris, tetapi... halah...ledakan mercon besar yang disulut anak-anak depan rumah mertua saya.
Kalau orang mengaji di tengah malam saja kita ributkan, masak mercon perlu kita anggap hal biasa? Yah. Apa boleh buat. Di sini mercon hal yang biasa, dan jangan harap ada satu orang pun yang akan keluar rumah dan menjewer anak-anak itu. Malah, boleh jadi, orang akan heran dengan ide menjewer itu, lalu dengan alis mengkerut bertanya, "Memang kenapa harus dijewer? Salah apa?"
Ya. "salah apa?" Di sinilah Anda harus mendengarkan kutipan kuliah filsafat untuk memahami situasi ini: kebenaran (dan karena itu kesalahan) itu relatif! Artinya it is related to something, bukan sesuatu yang 'murni', 'indpenden', dan 'terisolasi'. Bahwa pukul 02:30 itu 'seharusnya' hening adalah konstruksi sosial-kultural.
Di Tamanan, kampung saya di Bantul, orang makan sahur di atas jam 03:30 (setidaknya menurut Pak Dukuh saya yang rajin membangunkan warganya pada jam-jama itu dengan, sekali lagi, double-speaker yang dipasang dengan bambu menjulang di atas rumahnya). Sehingga jam 02:30 pasti masih hening.
Di tempat lain, yang punya kebiasaan sahur di jam yang berbeda, jam 02:30 bukan jam hening. Di tempat asal saya Blitar, ibu saya lebih suka membangunkan kami makan sahur jam 02:00. Jangankan letusan mercon di jam 02:30, bom atom jatuh pun mungkin tak akan membuat kami terbangun dari mimpi.
Pelajarannya apa? Konsep 'menggangu' itu tak boleh kita pahami sepotong saja. Saya sering membaca tulisan kawan-kawan yang pro aturan pelarangan tadarrus via loudspeaker atau toa. Saya juga tahu persis sisi baiknya aturan itu. Tetapi, penting juga bagi kita untuk juga menempelkan potongan lain yang bernama tradisi, kultur, dan perayaan dalam gambar kehidupan beragama kita sehingga kita tidak hanya mengendepankan sisi "hak pribadi" yang ingin tidur nyenyak dan tak terganggu oleh kultur dan praktik sosial.
Saya terganggu oleh tadarrus tengah malam sebagaimana saya juga terganggu oleh mercon yang memutus cerita mimpi indah semalam.Tetapi, toh hidup ini memang kadang perlu gangguan dan ketidak-nyamanan agar kita bisa tahu makna nyaman. Lagian, bulan Ramadhan juga cuma sekali setahun. Kita rayakan saja ketidaknyamanan itu se-'raya' Ramadhan sendiri!
Posting Komentar