Perempuan itu naik pesawat sudah belakangan. Ia tergopoh-gopoh mencari tempat duduk. Begitu mendapatkan, kepanikan berikutnya adalah ia tidak mendapatkan kabin kosong di atas deretan kursinya. Tetapi, beruntunglah, lelaki yang ada di dekatnya segera tanggap. Si lelaki berdiri, dan perempuan itu bilang, "Tolong mas, tolong ini." sambil susah payah ia berusaha mendorong kopernya masuk ke kabin. Tahu kabin itu sudah tidak cukup, si lelaki dengan baik hati mengangkat koper itu di memasukkannya di kabin kosong di depan, sekitar dua baris dari tempat duduk si perempuan. Si lelaki kembali dan duduk di samping perempuan yang tak dikenalnya itu. Saya dengan serius mengamati untuk membuktikan dugaan saya karena melihat tingkah pulah si perempuan sebelumnya. Ya, sesuai dugaan saya, perempuan itu tidak mengucap sepatah kata terimakasih atas bantuan si lelaki.
Halaman rumah mertua saya (atas); gerbang berbatu (kiri-bawah) |
Scene 2
Mertua saya tinggal di kampung kecil dengan akses jalan tunggal berujung buntu. Jalannya sempit, hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat. Saya baru tahu sebulan lalu, bahwa susah bagi kendaraan yang sudah masuk ke kampung untuk kembali. Waktu itu, mobil saya tidak bisa masuk ke halaman rumah mertua yang sedang dipasang tarub untuk mantu. Sekitar 15 meter setelah rumah mertua, saya menemukan rumah dengan sebagian gerbanngya ditutup tumpukan genteng. Saya sadar arti batu itu karena saya sedang mencari cara untuk memutar balik arah mobil saya. Dengan tumpukan genteng yang mempersempit gerbang, ia seolah berkata, "Haaa, jangan putar mobilmu di halamanku!"
Scene 3
Saya sedang mengetik naskah blog ini di teras rumah mertua saya yang luas itu. Sebuah truk pengangkut barang terlihat berhenti sejenak di depan gerbang. Si kenek tampak melihat halaman luas kami. Tapi truk itu berjalan lagi. Hati saya berkata, "Kenek itu tahu, halaman ini bisa dipakai untuk memutar. Sayangnya, yang punya halaman sedang duduk di teras." Tak lama kemudian truk itu kembali, berjalan mundur. Lalu, keneknya turun. Ia memberi aba-aba agar si sopir mudah bermanuver. Truk masuk ke halaman kami dengan nyaman. Kemudian memutar dengan leluasa. Dan... kenek itu pun naik lagi ke truk. Pergi begitu saja. Seolah-olah tidak ada saya di sini. Seolah-olah ia melupakan keraguannya saat pertama kali melihat halaman dan orang yang ada di teras. Apa susahnya bilang, "Nyuwun sewu mas, nunut muter njih", atau "Maturnuwun, pareng mas!" Permisi dan Terimakasih itu barang mahal rupanya.
Scene 4
Saya sudah menyelesaikan tulisan-tulisan serial Catatan Ramadhan ini. Tidak mudah untuk bisa konsisten selama sebulan, dengan segala kesibukan, untuk tetap menulis hal-hal yang terkait Ramadhan. Wajar, jika kadang tulisan itu datar-datar saja ketika energi menulis tinggal setetes dan inspirasi susah keluarnya. Tetapi, yang penting, saya bisa mewujudkan niat saya. Anda tahu, tanpa statistik Google yang menunjukkan bahwa tulisan-tulisan ini Anda baca, saya tidak mungkin mau terus menulis.
Untuk apa menulis kalau tidak dibaca? Selama Ramadhan, angka pengunjung di blog ini sudah naik ribuan. Maka, izinkan saya berterimakasih. Saya tidak ingin seperti perempuan di pesawat itu, atau sopir dan kenek truk di halaman mertua saya. Saya sungguh berterimakasih atas apresiasi Anda selama ini, baik dengan menshare (Evi Yuli Pertiwi, Mbak Liana, dan Suratmin), atau dengan memberikan jempol (tidak bisa saya sebut satu-satu) dan komentar di Facebook. Jazakumullah!
Posting Komentar