Tangan Rohmadi, mahasiswa angkatan 2013 saat tes masuk jalur reguler di UIN Sunan Kalijaga |
Berbicara tentang difabel di perguruan tinggi itu sama dengan berbicara tentang sesuatu yang dianggap tidak penting, bukan prioritas, marjinal, atau paling jauh adalah berbicara tentang "tantangan dan hambatan". Sedemikian marjinalnya issu difabel di pendidikan tinggi hingga kita tidak memiliki data berapa sesungguhnya difabel yang memperoleh kesempatan kuliah di perguruan tinggi di Indonesia. Angkanya tidak jelas berapa, tetapi yang pasti jumlahnya sangat kecil!
Di UIN Sunan Kalijaga, kampus inklusif pertama di Indonesia, setiap periodenya kita hanya melayani 30 sampai 40 orang mahasiswa difabel. Bandingkan dengan jumlah mahasiswa UIN secara keseluruhan yang 16.080 orang. Setiap tahunnya, UIN menerima sekitar 3600 mahasiswa baru dan dari jumlah ini kami di PLD tak pernah menerima lebih dari 15 orang per angkatan atau 0.004 persen per tahun!
Angka yang dimiliki Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) juga mencerminkan hal yang sama. Menurut estimasi yang mereka buat pada tahun 2010, setiap tahunnya hanya ada 250 tunentra, di seluruh Indonesia yang bisa mengkases pendidikan tinggi.
Jadi, bayangkan saja, sebagai kampus inklusif, UIN Sunan Kalijaga sudah memiliki kebijakan untuk setiap tahunnya menerima hampir semua difabel yang mendaftar, sudah jemput bola ke sekolah-sekolah yang memiliki siswa difabel, sudah bekerjasama dengan berbagai LSM untuk mendorong mereka kuliah, tetapi, angka partisipasi difabel masih saja sedemikian rendah. Maka, apalagi istilah yang pantas selain marjinalisasi difabel di perguruan tinggi.
Oleh sebab itu, di tengah rendahnya angka partisipasi difabel di perguruan tinggi, di tengah masih jauhnya angan-angan para difabel untuk bisa kuliah, kasus syarat-syarat anti difabel dalam SNMPTN tahun 2014 itu persis sebagai menabur garam di atas luka. Bukannya mendorong agar semakin banyak difabel yang mencicipi pendidikan tinggi, tetapi malah menjegal mereka sebelum mereka masuk!
Perguruan-perguruan Tinggi itu tentu saja tidak mau disebut menjegal difabel. "Kami ini tidak siap menerima difabel karena kami tidak memiliki sarana dan prasarananya." Tetapi, kalau menunggu siap, sampai kapan mereka siap? Logikanya sederhana saja. Kalau universitas tidak menerima difabel, maka tidak akan ada difabel di kampus itu. Kalau tidak ada difabel di kampus itu, siapa yang hendak memikirkan keberadaannya? Kalau tidak ada yang memikirkan keberadaaannya, apakah mungkin ada yang bersiap-siap?
Atau, "Kami merasa kesulitan untuk mendidik mahasiswa difabel." Menerima dan melayani difabel tidak akan pernah menjadi tugas yang mudah. Melayani difabel membutuhkan komitmen lebih, membutuhkan waktu lebih, membutuhkan strategi mengajar yang lebih, membutuhkan biaya yang mungkin juga lebih. Tetapi, kalau memang sulit, apakah secara moral kita pantas menolak mereka? Kalau kita menolak, adakah pihak yang menurut kita lebih berkewajiban mendidik dan menerima mereka? Sungguh, sebagai perguruan tinggi negeri yang dibiayai dengan uang pajak rakyat, tidak ada yang lebih wajib menerima difabel selain universtas negeri!
Bagi kita di UIN, bukan hanya hutang kepada rakyat yang harus kita bayar dengan menerima difabel, tetapi juga karena tidak ada dalil yang membolehkan kita untuk bersikap `abasa wa tawalla, (sudah tidak ramah, menolak pula!)
Oleh sebab itu, mari terus kita buka pinta kita untuk teman-teman difabel. Mari terus kita sediakan kursi-kursi untuk mereka agar jumlah difabel yang kuliah semakin bertambah. Bahwa kita belum siap, ya mari kita bersama-sama terus menyiapkan diri dengan cara belajar sambil bekerja; melayani sambil terus memperbaiki pelayanan yang kita berikan. Dengan komitmen bersama, kami percaya tidak ada yang sulit untuk diselesaikan. Salam inklusi.
Posting Komentar