Anda sudah membaca Gatra edisi 26 Maret? Coba buka halaman 48 dan simak baik-baik sejumlah pernyataan orang-orang di pendidikan tinggi kita. Mulai dari menteri sampai ke rektor. Membaca pernyataan mereka, saya jadi pesimistis nasib pendidikan inklusi akan segera menemukan titik terangnya. Pandangan mereka mengandung pemahaman yang salah tentang hak pendidikan difabel di perguruan tinggi.
Masalah pertama dan sangat fatal: mereka tidak sadar bahwa mereka telah melakukan diskriminasi. Lebih mudah bagi kita untuk menegur orang yang tahu dirinya salah. Kalau "tidak merasa salah", nah, mau gimana coba?
Menurut Pak Nuh, "Jika sebuah jurusan mensyaratkan tidak boleh buta warna, itu bukan diskriminasi. Sebab, perkuliahan di jurusan tersebut memang membutuhkan kemampuan seseorang untuk mengenali warna dalam melakukan kegiatan tertentu."
Bagi kami, Pak Nuh, persoalannya adalah pada konsep "butuh" itu. Di website ini, kami punya beberapa contoh betapa definisi 'butuh' itu kadang semena-mena dan karena itu menjadi diskriminatif. Saat Prodi Psikologi membuat syarat bebas butawarna, mereka sudah menutup mata, telinga, dan hati mereka dengan fakta bahwa di belahan dunia lain, tunanetra pun bisa menjadi psikolog! Demikian juga dengan Prodi Kimia yang menolak tunanetra karena alasan yang sama dengan Pak Nuh. Mereka tidak peduli bahwa di belahan dunia lain ada professor Kimia dan mengajar di universitas ternama (baca kisah mereka di sini).
Jadi, kata "butuh" itu tidak boleh taken for granted Pak Menteri! Di situlah sumber diskriminasi dan di situlah ada kewajiban Bapak untuk memberikan dana dan sumber daya manusia agar apa yang semula tidak mungkin dilakukan oleh tunanetra menjadi mungkin! Di tangan Bapaklah pendidikan bangsa ini anggarannya diberikan!
Masalah kedua, memberikan otonomi kepada perguruan tinggi bahkan untuk melanggar UU dan Peraturan Pemerintah! Memberikan otonomi boleh saja, tetapi membiarkan perguruan tinggi melanggar UU dan Peraturan pemerintah yang mewajibkan perguruan tinggi untuk menyediakan akses bagi difabel adalah sama dengan cuci tangan dari tanggung-jawab. Tugas Kemedikbud adalah menegur mereka, mengatur mereka, dan juga mengkoordinir mereka untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam mengimplementasikan undang-undang pendidikan. Ini soal kewajiban melaksanakan undang-undang, bukan soal otonomi perguruan tinggi!
Masalah ketiga, bangga dengan keberhasilan difabel yang tidak mereka layani. Dalam liputan itu disebutkan oleh pejabat Kemendikbud bahwa bahwa ada difabel tunadaksa yang susah payah selama kuliah karena kampusnya tidak ada jalur kursi roda. Susah payahnya membuahkan hasil. Ia kini jadi orang sukses, top manager perusahaan multinasional. So, what is the point? Saya nggak paham. Perjuangan si difabel memang inspiratif, tetapi dari segi apa yang dilakukan oleh universitas dan kemendikbud bagi keberhasilannya?... Nothing!
Masalah keempat, menerima difabel tidak sama dengan kampus inklusi. Dalam liputan itu disebutkan, sebagai bukti kalau kampus tidak diskriminatif, ada sejumlah difabel yang telah kuliah di sejumlah PTN. Jika menerima difabel disamakan dengan amanah undang-undang untuk penyelenggaranaan pendidikan inklusi, ini berbahaya.
UIN Sunan Kalijaga misalnya, sudah belasan tahun menerima mahasiswa tunanetra. tetapi kami merintis kampus inklusi baru tahun 2006. Apakah ada yang membedakan? Oh banyak. Silakan datang ke kami untuk melihat beda antara "sekedar menerima" dan "melayani mahasiswa difabel".
Kami menyambut baik liputan Gatra itu, tetapi juga sedih melihat betapa naifnya pandangan-pandangan yang beredar mengenai pendidikan inklusi (Arif Maftuhin, Kepala PLD UIN Sunan Kalijaga).
Posting Komentar