68 Gan! |
Di kampungku, pemenang untuk masing-masing kursi sudah bisa ditebak sejak sebelum hari H pencoblosan. Kursi DPRD II dan DPRD I akan jatuh ke caleg PAN; sementara kursi DPR RI akan jatuh ke caleg PKB; dan kursi DPD pasti jatuh ke tangn G.K.R Hemas (siapa lagi kalau bukan dia ?). Formasi ini berubah dari tahun 2009. DPRD II (PAN), DPRD I (PDIP), DPR (Demokrat), DPD (GKR Hemas).
PAN No. 2! |
Dari masing-masing kursi itu, kecuali kursi DPD, kemenangan bersumber dari 'kontrak politik' dengan tokoh pedukuhan yang terdiri atas Pak Dukuh, para Ketua RT, dan tokoh yang dituakan. Kontrak politik ini bukan 'money politics', tetapi juga bukan tanpa 'money' sama sekali. Kontrak itu bagaimanapun perlu indikator yang kasat mata: janji yang bersifat materi. Misalnya, jalan raya, pembangunan selokan, pengecoran jalan kampung, dan semisalnya. Faktor inilah yang mengubah peta dari PAN-PDIP-DEMOKRAT pada tahun 2009 menjadi PAN-PAN-PKB tahun ini.
Pada tahun 2009, setelah kontrak politik dengan caleg PAN tingkat DPRD II tercapai, upaya untuk melakukan kontrak yang sama dengan caleg PAN DPRD I tidak memperoleh hasil karena si caleg menolak. Tawaran akhirnya diterima dari Caleg DPRD I darip PDIP. Kontrak politiknya adalah pengaspalan jalan kampung (sekitar 350 meter).
Mencari yang telah disepakati! |
Model kontrak politik yang ada di kampung kami ini saya kira berada di tengah-tengah antara reprsentasi uang dengan representasi subtstantif yang ideal. Dalam 'representasi uang', suara diberikan semata-mata karena individu menerima uang dan hubungannya sebatas uang dan pencoblosan. Sedangkan dalam 'kontrak program fisik' seperti ini, 'kontrak kepentingan umum' (kampung) dikedepankan. Ada materi, tetapi tidak untuk pribadi.
Untuk menjamin agar kontrak berjalan baik, 'DP' harus dibayarkan di depan. Dulu, Caleg PDIP itu menurunkan 10 atau berapa drum aspal sebelum pemilu dilaksanakan dan pengerasan baru akan dilakukan setelah pemilu berlangsung. Di sini masing-masing pihak disandra oleh janji yang harus ditepati.
Dalam kontrak semacam ini, belum ada jaminan representasi dan relasi jangka panjang yang bisa digaransi oleh kedua belah pihak. Begitu suara diberikan dan begitu program pembangunan kepentingan umum dijalankan, selesai sudah kontrak kedua belah pihak. Selanjutnya, terserah keduanya.
Para simbah, datang paling awal. kepentingan mereka? |
Perubahan peta dari 2009 itu dibedakan oleh cara kedua caleg merawat hubungan. Wildan Nafis, caleg PAN untuk DPRD II Bantul, tetap menjalin hubungan yang baik dengan konstituennya sesudah Pemilu. Sementara Caleg DPRD I dari PDIP tak pernah lagi kelihatan batang hidunganya di kampung kami (eh, dulu pun yang datang ke sini juga cuma tim suksesnya).
Berbeda dnegan Caleg DPRD I yang punya konstituen yang lebih besar, Wildan bisa dekat dengan konstituennya karena banyak faktor. Ia memang orang asli dari kecamatan ini.
Selain itu, ia menjalankan banyak fungsi 'ideal'nya seorang 'wakil rakyat'. Pertama, Ia kenal secara pribadi dengan para tokoh dan warga yang ia wakili. Kedua, ia biasa terlibat di acara-acara kampung. Pengajian Hari-hari besar di langgar sebelah rumahku pun ia mau datang. Ketiga, ia membantu warga yang membutuhkan 'advokasi'. Misalnya, ketika ada warga kami yang sakit dan dtiolak di rumah sakit daerah karena alasan kamar yang kurang, konon Wildan lah yang menelpon langsung ke Kepala Rumah Sakit Daerah agar warganya dapat prioritas. Keempat, ia menjalankan fungsi 'representasi politik' dengan mengawal setiap proposal program kampung yang diajukan Pak Dukuh.
Dengan segala macam keunggulannya itu, Wildan, menurut saya, selama masih bisa konsisten seperti 5 tahun terakhir, masih akan terpilih lagi ke depannya.
Menunaikan kontrak politik! |
"Saya ini orang Golkar, tetapi, demi kepentingan bersama, mari kita pilih Pak Wildan," kata Pak RT. Ia bukan satu-satunya orang yang seperti itu di kampung kami. Saya bisa saja menyebut diri sebagai orang PKB karena saya orang NU, tetapi saya juga cukup rasional untuk memilih Wildan Nafis dibandingkan dengan caleg-caleg PKB yang tidak saya kenal dan tidak punya kontrak politik. Saat saya mencoblos nama Wildan, saya seperti lupa bahwa di atasnya ada gambar dan lambang Partai PAN -- Partai yang hampir mustahil saya pilih sebagai orang NU.
Seperti dalam kasus 2009 itu, masyarakat di sini sangat pragmatis. Ketika caleg PAN tidak mau mengikat kontrak, ya suara diberikan ke PDIP. Tahun ini, saya meilih Caleg PKB di tingkat DPR juga bukan karena PKB-nya tetapi karena kesepakatan warga untuk memberikan suara ke Pak Agus.
Pak RT dan warganya di TPS 25 |
Tentu saja di bawah kesepakatan di tingkat kampung itu ada riak-riak perlawanan. Ada dua juenis perlawanan di sini: perlawanan struktural dan perlawanan personal.
Perlawanan struktural dilakukan oleh 'institusi RT' yang balelo. Di dukuh ini ada lima RT. Dari lima RT ini, RT 3 seringkali dianggap membelot dari kesepakatan-kesepakatan di tingkat kampung. Tahun lalu, saat pemilihan kepala desa, RT 3 menolak untuk memilih calon inkumben sementara RT-RT lain sepakat untuk mempertahankan Pak Lurah.
Menghadapi perlawanan ini, sebuah strategi ditempuh: mengubah komposisi TPS. RT 1-2 dikumpulkan di TPS 25; RT 4-5 dikumpulkan di TPS 26; dan RT 3 yang mbalelo dikumpulkan di TPS 27. Para tokoh kampung ingin memberi pelajaran kepada RT 3 bahwa perlawanan mereka itu akan ada harganya. Dan perlawanan itu akan tampak jelas karena RT 3 tidak lagi digabung dengan RT 4 dalam satu TPS. Hasilnya? Ya, di TPS 27 inilah pembelotan atas konsensus di tingkat kampung terbaca. Wildan nafis yang menang telak di empat RT, harus bersaing ketat melawan caleg gerindra yang didukung oleh RT 3.
Perlawanan personal muncul karena conflict of interest pada diri si pemilih. Artinya, ketika kepentingan umum tidak terlalu kuat terbaca dan terasa, si pemilih akan memilih ikatan-ikatan lain yang lebih dekat. Saya, misalnya, tidak mengikuti kesepakatan umum untuk memilih Caleg DPRD I dari PAN karena teman dekat saya, yang maju tanpa modal uang yang besar itu, jelas memerlukan dukungan moril dari orang-orang yang mengenalnya secara pribadi seperti saya.
Menghitung sampai malam, memeta perlawanan |
Saya tidak tahu, apakah selama GKR Hemas jadi anggota DPD ia benar-benar memperjuangkan Jogja dan kepentingan rakyat Jogja. tetapi, tidak ada yang bisa melawan G.K.R Hemas di sini (sama seperti di tempat lain). Ia melenggang santai, memukul telak calon-calon lain yang dikenal warga pun tidak. Jadi, apa gunanya pemilu? Bagaimana kalau satu kursi di DPD itu dijatahkan saja untuk sultan atau istrinya?
memilih Kanjeng Ratu bernomor 8 |
Posting Komentar