Himbauan anti-gratifikasi yang layak ditiru! |
ٍSalah satu kebiasaan di lingkungan kami adalah dosen menerima 'sesuatu' dari mahasiswa. Saat ujian skripsi, mahasiswa menyediakan makanan ringan, minuman, bahkan ada yang makan siang. Prodi tempat saya mengabdi sebenarnya belum 'terbiasa' dengan hal itu karena kami memang belum lama meluluskan dan kira-kira baru beberapa gelintir mahasiswa saja yang sudah lulus.
Tetapi karena 'kebiasaan' itu sudah ada di rumah besar kami, Fakultas Dakwah, anak-anak pun ikut-ikutan dengan kebiasaan itu. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengangkat issu itu di Forum Online Fakultas Dakwah. Menurut saya, kebiasaan itu harus dihentikan! Reaksinya macam-macam. Sebagian setuju dengan pendapat saya, sebagian lagi menganggap masalah itu masalah kecil. "Wong ada anak mau syukuran masak ditolak." Atau, yang membuat saya mak jleg baru kepikiran, "Kalau kita sendiri lulus doktor, masak kita juga tidak syukuran kepada para penguji."
Sewaktu S1, saya kuliah di kampus yang terisolasi dari induk kami di Semarang. Di IAIN Walisongo Pucangan, kami tidak punya lingkungan yang "mengajari" untuk memberi sesuatu kepada penguji. Saat saya S2, kebetulan juga tidak ada ujian tesis. Saya juga tidak memberi sesuatu kepada Prof. Machasin sebagai penguji saya. Saat di Amerika, ah, apalagi... kebiasaan itu jauh dari 'biasa'. Jadi, dalam sejarah saya sekolah, memberi kepada dosen dalam relasi akademik itu memang 'aneh'. Sama seperti saya tidak pernah memberi satu per satu setiap dosen yang pernah mengajar saya; memberi penguji skripsi/tesis/disertasi apa istimewanya?
Jangankan sebagai penguji, sebagai pembimbing, saya juga sering menolak pemberian mahasiswa bimbingan saya. Menurut saya, saya ini PNS dan dibayar dengan uang rakyat untuk tugas-tugas itu. Kalau saya menerima sesuatu karena tugas saya, maka saya korupsi. It's that simple.
Saat pegawai pajak yang diutus Nabi menerima bonus dari kepala suku, ia melapor ke Nabi bahwa yang sebelah ini adalah uang pajak, dan sebelah ini adalah hadiah pribadi, Nabi berkata, "Kalau kamu tidak menjadi pegawai pajak, apa mungkin mereka memberimu hadiah?" Sama, andai saya bukan dosen, apa mungkin mahasiswa memberi saya sesuatu? Selama pemberian itu terhubung, terkait, berkenaan dengan tugas, maka pemberian itu harus masuk ke kas negara, tidak ada yang namanya "pemberian pribadi".
Karena kontroversi di Forum Online tadi tak mengarah ke situasi yang baik, saya lalu gerilya di jurusan. Saya temui dosen-dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial dan saya mohon kesediaan mereka untuk ikut memberantas praktik itu. Alhamdulillah, semua setuju. Maka saya sosialisasikan di kelas bahwa di IKS, mahasiswa yang ujian skripsi tidak perlu menyediakan makanan ringan untuk dosen.
Bisa berjalan? Dulu ya. Tetapi beberapa waktu yang lalu praktik itu tampaknya muncul lagi. Selesai menguji mahasiswa IKS, saya segera kembali ke kantor di PLD. Tidak lama kemudian, salah satu temannya datang mengirimkan paket makan siang. Terus terang saya kaget dan kecewa. Saya sampaikan ke mahasiswa itu, saya tidak mau menerima dan kalau memang mau syukuran, lebih baik untuk teman-temannya saja.
Tak lama kemudian, saya menerima SMS dari sekretaris jurusan. Isinya? Saya diminta mengambil jatah makan siang dari syukuran mahasiswa itu di ruang jurusan. Nah loh! Saya pikir, kalau saya hanya sendirian menolak... dosen lain mau, ya susah juga menghentikan kebiasaan ini.
***
Hari ini saya kembali diingatkan pentingnya kita menjaga integritas bahkan untuk hal-hal yang sekecil itu lewat surat edaran sekolah anak saya. Ini sekolah swasta, yang hidup dari uang siswanya. Guru tidak digaji dengan uang negara. Gajinya pun mungkin hanya sepertiga gaji para dosen. Kalau mereka saja menolak pemberian seperti itu, apakah kita, para dosen di lembaga negeri, dibayar tinggi dengan uang rakyat, masih punya moral untuk menganggap itu cuma hal sepele?
Kejahatan itu tak pernah bermula dari kejahatan besar. Ia pasti dari kejahatan kecil. Terlebih, sumber kajahatan besar dan kecil juga sama: hilangnya integritas!
#katakita
Posting Komentar