Dalam sejarah pemilihan langsung, kita belum pernah memilih presiden sipil. Dua kali coblos langsung, dua kali rakyat memilih militer (SBY). Salah satu faktor kemenangan SBY adalah fisiknya yang menyimbolkan raja-raja dalam dongeng: gagah, tampan, berwibawa, dan terpenting -- seperti dalam dongeng -- jagoan perang.
Karena para pemimpin negeri dongeng (dari Mahabarata, Ramayana, sampai Saur Sepuh dan Hatim) selalu punya keunggulan fisik dan jagoan perang, maka pemimpin seperti itulah yang dipilih langsung oleh rakyat dalam dua pemilu sebelumnya. Ah, jangankan rakyat umumnya, kita dengar orang-orang pintar, professor, pun mengatakan hal itu belum lama ini (presiden itu harus tampan, gagah, nggak klemak-klemek).
Seandainya SBY diberi kesempatan maju lagi, saya kira beliau bisa mengalahkan Prabowo. SBY lebih gagah, lebih tampan, lebih bersih masa lalunya, berlatar belakang keluarga yang baik (mertuanya jenderal terhormat, keluarganya utuh dan punya anak yang ganteng-ganteng), lebih religius, lebih berwibawa, dan jelas lebih apa saja...
Dibanding melawan Jokowi, Prabowo akan jauh lebih sulit menghadapi SBY karena Pak Presiden kita memiliki semua yang dimiliki Prabowo plus sekian jumlah kualitas yang lebih unggul. Barangkali, amunisi untuk black-campaign pun nyaris tidak bisa ditemukan. Paling-paling, bom yang akan sering digunakan adalah kampanye negatif menggunakan rekam jejak korupsi Partai Demokrat.
Untungnya, Prabowo melawan Jokowi. Ia mempunyai segudang amunisi untuk melakukan apa saja. Khususnya, amunisi dari negeri dongeng tentang kesatria berkuda, berwajah tampan, yang membawa ciuman hangat untuk Sang Princess yang tertidur di Kastil terkucil yang dijaga para naga.
Dalam skenario itu, Jokowi ini siapa? Ia bukan siapa-siapa. Ia bisa jadi cuma satu dari tujuh kurcaci, atau ia si tukang kayu yang sedang menebang pohon yang dilewati Sang Ksatria berkuda. Dalam skenario negeri dongeng, paling jauh dalam imaji saya ia adalah Kristoff of Arendelle, si penjual es balok yang membantu Ana dengan bayaran sekantong wortel dan tali kekang rusa.
Kristoff orang biasa saja. Anak hilang yang hanya berteman Sven si raindeer. Ia tidak punya ambisi tinggal di istana. Kebetulan saja ia dimintai bantuan oleh orang Istana untuk mencari solusi negerinya yang tengah membeku. Jokowi, seperti Kristoff, juga tidak ingin tinggal di istana: ia turun tangan karena diminta membantu reformasi di negerinya,16 tahun berlalu tetapi hanya jalan di tempat, frozen indeed.
Seperti Kristoff, Jokowi bukan solusi, ia hanya bagian dari sekenario bersama untuk mencari solusi. Dalam skenario itu, kita masih perlu 'kecepatan' lari Sven, yang setia mendampingi Kristoff di tengah badai. Kita butuh imajinasi kreatif Olaf tentang masa depan yang tidak mungkin -- manusia salju berjemur di terik matahari. Kita perlu pengorbanan Ana yang menyelamatkan Elsa dari, bagian dramatisnya, Kesatria tampan berkuda yang justru ingin membunuhnya!
Kita memilih Kristoff, dalam skenario happy ending Arendelle, karena Kristoff itu orang biasa seperti kita, yang harus bekerja keras untuk hidup. Ia bukan Hans, yang selama 95 menit tampil sebagai ksatria tampan dan penolong, tetapi di 10 menit terakhir justru membiarkan Ana menjemput kebekuan abadi dan membunuh Elsa demi tahta Arendelle.
Kita pernah dua kali memilih ksatria tampan dan sakti memimpin negeri kita, kini mari kita ajak Kristoff untuk menjadi bagian dari solusi bersama negeri kita yang tengah membeku.
Salam damai dua jari.
Posting Komentar