Tanggal 3 Januari 2014, saya diberi kesempatan untuk menyampaikan khutbah di Masjid UIN Sunan Kalijaga (baca di sini). Hari itu juga, untuk pertama kalinya dalam sejarah Masjid kampus UIN dan masjid di Indonesia pada umumnya, kami memulai babak baru: khutbah yang didampingi penerjemah bahasa isyarat.
Minggu ini, hari Jumat jatuh sehari lebih awal daripada tahun lalu (2 Januari). Tetapi sebagai momen peringatan, minggu ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi program khubah bahasa sisyarat, Sebab, terlepas dari inovasi dan momen historisnya, "bersejarah" bukan tujuan utama diluncurkannya penerjemah bahasa isyarat di masjid UIN Sunan Kalijaga. Sebagai pencetus program, saya merasa perlu untuk melihat lagi tujuan-tujuan apa yang bisa dicapai.
Pertama, dari segi penerjemah, tiga relawan PLD yang kami kirim setiap Jumat sudah semakin baik bahasanya. Dulu, di awal-awal, kami sebenarnya nekat saja dan anak-anak yang merasa masih sedang belajar itu sempat tidak percaya diri dengan minimnya kosakatan yang mereka miliki. Tetapi bersmaan dengan berjalannya waktu, kekayaan kosakata pun semakin bertambah.
Apalagi, beberapa khatib mau menyerahkan teks sebelum khutbah. Tentu saja hal inii sangat membantu teman-teman penerjemah untuk menyiapkan diri lebih baik
Kedua, dari segi ketersediaan relawan. Sayangnya, hingga hari ini, hanya tiga orang itulah yang kami miliki. Entah mengapa, 'stock' penerjemah bahasa isyarat lebih banyak ceweknya daripada cowok. Sebulan terakhir, kami buka lagi program pelatihan bahasa isyarat untuk para relawan, nah pesertanya lagi-lagi didominasi cewek. Padahal, salah satu dari tiga relawan itu sudah mau lulus. Ayo dong pembaca cowok, datanglah ke PLD dan isi lowongan ini :)
Ketiga, publikasi fasilitas ini. Untuk hal ini, terus terang saya tidak punya data akurat seberap jauh orang mengetahui fasilitas khas Jumatan di masjid UIN ini. Sejauh Google memandang, dengan kata kunci "khutbah bahasa isyarat uin sunan kalijaga", ada 3000-an entri terkait. Nggak banyak sih yang langsung terkait pelaksnaaan khutbah bahasa isyarat di masjid kami, tetapi setidak ada sejumlah tulisan komentar yang menggembirakan kami sebagai penyelenggara. Seperti tulisan ini, atau tulisan berikut ini.
Kempat, masalah audiens. Dari 10 tunarungu yang ada di UIN, ternyata tidak banyak yang shalat di masjid. Paling, hanya sekitar 2-5 orang. Lainnya sahalat di kos atau di rumah masing-masing. Sama seperti kita yang bisa mendengar tetpi memilih tidur di masjid saat khutbah, sebagian tunarungu juga tidak merasa perlu mendengarkan khutbah lewat fasilitas yang kami sediakan.
Mau apa alagi kalau sudah begitu? Kewajiban kami adalah melayani, tergantung yang berhak sekarang apakah mereka mau mengambil atau tidak. Atau, mungkin perlu sosialisasi lagi ya...
Semoga inovasi itu tetap berlanjut dan terus memberi manfaat bagi masayarakat banyak.
Posting Komentar