Foto yang beredar di medsos, sumber asli tidak diketahui. Tetapi pesan isinya ada di media resmi. |
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah. Ada tiga golongan umat Islam Indonesia dalam menyambut tahun baru 2015 kemarin.
Pertama, mereka yang merayakan tahun baru 'seraya-rayanya'. Mereka ini menganggap tahun baru adalah momen penting sehingga kedatangannya dirayakan dengan penuh suka cita, dengan berkumpul di tempat keramaian untuk menyaksikan berbagai jenis hiburan, dengan makan-makan, dengan meniup terompet sekencang-kencangnya, hingga mereka yang berpesta dengan hal-hal yang jelas-jelas dilarang oleh agama: menenggak minuman keras atau menikmati malam dengan pasangan haram.
Kelompok pertama ini yang paling tampak 'syiarnya'. Mereka ada di semua saluran TV, mereka ada di jalan-jalan di sekitar kita. Mereka ada di pusat-pusat kota. Di Yogyakarta, saya dengarkan dari rumah, kembang api bersahutan lebih dari lima belas menit tanpa henti mnjelang dan sesudah detik-detik pergantian tahun pukul 00.00 WIB
Kelompok kedua adalah mereka yang 'anti' perayaan tahun baru. Sebab, kalkalender masehi adalah tahun 'non-Muslim' dan karena itu orang Islam tidak pantas merayakan.
Kelompok anti tahun baru ini bersikap negatif total dengan menolak segala bentu perayaan. Forum komunikasi pimpinan daerah di Banda Aceh (lihat di sini), misalnya, bahkan melarang perayaan itu walaupun diwujudkan dalam bentu dzikir dan shalawat bersama.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang menolak cara merayakan tahun baru. Bagi mereka, tahun masehi mereka terima sebagai fakta. Sebab kenyataannya kita menggunakan tahun itu untuk kerja sehari-hari, untuk kehidupan sehari-hari. Suka-tidak suka tahun anggaran kita menggunakan tahun masehi, bahkan urusan pernikahan pun undangan selelu ditulis dengan hari, tanggal, bulan dan tahun masehi.
Kalender pada dasarnya adalah urusan muamalah, bukan urusan ibadah. Sikap mengaitkan kalender dengan akidah adalah sikap yang berlebihan. Karena itu, tidak ada yang salah dengan "menyambut tahun baru." Kalau ada yang salah, itu adalah caranya, bukan tahun barunya.
Maka, klompok ini tetap merayakan tahun baru, tetapi mengisinya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Misalnya dengan berdizikir bersama dan berdoa agar tahun depan lebih baik dari tahun kemarin.
Selain bermanfaat bagi yang merayakan, cara-cara seperti ini juga bisa mengalihkan perhatian anak-anak muda dari godaaan acara yang hura-hura.
Kalau masjid menyelenggarakan dzikir bersama dan anak-anak muda terlibat di dalamnya, maka hal-hal negatif yang terkait dengan malam tahun baru bisa dicegah secara bersama. Tanpa acara semisal itu, kita tahu tidak banyak orang tua bisa mengendalikan anak-anaknya.
Saya sendiri setuju dengan kelompok ketiga ini. Di langgar al-Mujahadah, teman-teman kita kemarin merayakan tahun baru dengan kerja bakti membangun musholla. Saya percaya itu adalah cara yang hebat dan bermanfaat untuk ditiru dan dibiasakan.
Akhirnya, izinkanlah saya membaca puisi tahun baru dari Gus Mus berikut.
K.H. Mustofa Bisri
Selamat Tahun Baru Kawan...
Kawan, sudah tahun baru lagi...
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk,
memandang diri sendiri
Bercermin Firman Tuhan sebelum kita dihisab-Nya
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya
Muslimin kah?
Mukminin?
Muttaqin?
Kholifah Alloh?
Ummat Muhammad kah kita?
Khoiro ummatin kah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain?
Atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak-budak perut dan kelamin
Iman kita pada Allah dan yang gaib
rasanya lebih tipis daripada uang kertas ribuan
Lebih pipih dari rok perempuan
Betapa pun tersiksa, kita khusuk di depan massa
Dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersamaNya
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug
Atau pernyataan setia pegawai rendah aja, kosong tak berdaya
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam Ibu-ibu
Lebih cepat dari menghirup kopi panas
Dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda
Doa kita sesudahnya,
justru lebih serius kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia di sorga
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadwal
makan minum dan saat istirahat
Tanpa mengeser acara buat sahwat
Ketika datang lapar atau haus kita pun manggut-manggut Oo beginikah rasanya
Dan kita merasa sudah memikirkan saudara-saudara kita yang melarat
Zakat kita jauh lebih dari berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia
Kalau pun terkeluarkan harapan pun tanpa ukuran
Upaya-upaya Tuhan menggantinya berlipat ganda
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri
Mencari pengalaman spiritual dan matrial
Membuang uang kecil dan dosa besar
Lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi, Haji
Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita bersamaNya
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya
Mensiasati dunia sebagai khalifahNya
Kawan, tak terasa kita memang semakin pintar
Mungkin kedudukan kita sebagai kholifah mempercepat proses kematangan kita
Paling tidak kita semakin pintar berdalih
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran
Melaco dan menipu demi keselamatan
Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan
Memukul dan mencaci demi pendidikan
Berbuat semaunya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian
Pendek kata demi semua yang baik halallah semua sampai pun yang paling tidak baik
Lalu bagaiman dengan cendekiawan dan seniman
Para mubaligh dan kyai
Penyambung lidah Nabi
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kyai sedang sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka diatas sana
Menikmati dan meratapi nasip dan persoalan mereka sendiri
Kawan, selamat tahun baru
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk, memandang diri sendiri...!!!
Saya sendiri setuju dengan kelompok ketiga ini. Di langgar al-Mujahadah, teman-teman kita kemarin merayakan tahun baru dengan kerja bakti membangun musholla. Saya percaya itu adalah cara yang hebat dan bermanfaat untuk ditiru dan dibiasakan.
Akhirnya, izinkanlah saya membaca puisi tahun baru dari Gus Mus berikut.
K.H. Mustofa Bisri
Selamat Tahun Baru Kawan...
Kawan, sudah tahun baru lagi...
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk,
memandang diri sendiri
Bercermin Firman Tuhan sebelum kita dihisab-Nya
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya
Muslimin kah?
Mukminin?
Muttaqin?
Kholifah Alloh?
Ummat Muhammad kah kita?
Khoiro ummatin kah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain?
Atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak-budak perut dan kelamin
Iman kita pada Allah dan yang gaib
rasanya lebih tipis daripada uang kertas ribuan
Lebih pipih dari rok perempuan
Betapa pun tersiksa, kita khusuk di depan massa
Dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersamaNya
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug
Atau pernyataan setia pegawai rendah aja, kosong tak berdaya
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam Ibu-ibu
Lebih cepat dari menghirup kopi panas
Dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda
Doa kita sesudahnya,
justru lebih serius kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia di sorga
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadwal
makan minum dan saat istirahat
Tanpa mengeser acara buat sahwat
Ketika datang lapar atau haus kita pun manggut-manggut Oo beginikah rasanya
Dan kita merasa sudah memikirkan saudara-saudara kita yang melarat
Zakat kita jauh lebih dari berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia
Kalau pun terkeluarkan harapan pun tanpa ukuran
Upaya-upaya Tuhan menggantinya berlipat ganda
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri
Mencari pengalaman spiritual dan matrial
Membuang uang kecil dan dosa besar
Lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi, Haji
Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita bersamaNya
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya
Mensiasati dunia sebagai khalifahNya
Kawan, tak terasa kita memang semakin pintar
Mungkin kedudukan kita sebagai kholifah mempercepat proses kematangan kita
Paling tidak kita semakin pintar berdalih
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran
Melaco dan menipu demi keselamatan
Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan
Memukul dan mencaci demi pendidikan
Berbuat semaunya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian
Pendek kata demi semua yang baik halallah semua sampai pun yang paling tidak baik
Lalu bagaiman dengan cendekiawan dan seniman
Para mubaligh dan kyai
Penyambung lidah Nabi
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kyai sedang sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka diatas sana
Menikmati dan meratapi nasip dan persoalan mereka sendiri
Kawan, selamat tahun baru
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk, memandang diri sendiri...!!!
Posting Komentar