Senin (29/12/2014) kemarin, saya diminta Jamaah Cinema Mahasiswa (JCM) UIN Sunan Kalijaga untuk sumbang bicara dalam event pemutaran empat film yang menjadi nominator Festival Film Disabilitas #2. Kecuali satu judul saja, tiga film yang disajikan meneguhkan apa yang kini sering disebut sebagai "Inspiration Porn"!
Seperti ditulis Stella Young, inspiration porn adalah "an image of a person with a disability, often a kid, doing something completely ordinary - like playing, or talking, or running, or drawing a picture, or hitting a tennis ball - carrying a caption like "your excuse is invalid" or "before you quit, try". Kalau Anda menjadikan difabel sebagai alasan untuk move on, untuk tidak pernah berhenti mencoba, untuk tegar, maka pada saat itulah Anda menjadikan difabel sebagai objek pornografi yang Anda nikmati, tidak dalam pengertian seksual tetapi emosional.
Tahun ini, berbeda dengan tahun lalu, panitia membuka dua kategori film: dokumenter dan fiksi. Kebetulan, satu-satunya film yang tidak terjebak dalam inspiration porn adalah sebuah film dokumenter tentang perjuangan hak politik difabel dalam Pemilu 2014 lalu. Tiga film fiksi yang sempat kami tonton terjebak dalam satu tema besar: para difabel ini tetap bersemangat dan berguna bagi orang lain, bagaimana dengan Anda, hei, penononton?
Di satu sisi, saya setuju dengan Pampam, pegiat FFDIS yang mendampingi saya dalam diskusi itu, bahwa film mencerminkan realitas sosial. Lha kenyataannya memang sikap seperti itulah yang ada di masyarakat. Logikanya begini, ketika kita "ditabukan" berbicara mengenai sisi negatif disabilitas, maka apa yang bisa kita bicarakan dari sisi positifnya? Bagi non-difabel, sayangnya, berbicara positif itu hanya apa yang positif untuk dirinya sendiri, bukan untuk difabel!
Cobalah Anda tonton tiga film fiksi tentang difabel itu lalu ambillah posisi sebagai mereka, Sebagai misal, kalau Anda tunanetra, apa sih istimewanya tunanetra miskin (ah, banyak orang miskin di dunia ini), yang menjadi pengamen (non-difabel juga jadi pengamen), lalu kecopetan (siapa tidak pernah kecopetan?), dan tiba-tiba beruntung jadi populer (Ayu Tingting, Cita Citata, dan banyak lagi yang lainnya)...
Narasi seperti itu tidak istimewa kalau Anda juga tunanetra seperti si tokoh dalam film itu. Narasi itu menjadi istimewa karena faktor "kita bukan tunentra, kita wajib bersyukur atas yang kita punya, dan seharusnya kita tak kenal menyerah dengan kelebihan yang kita punya!" Ini yang dinamakan, kalau boleh saya terjemahkan, "pornopirasi"!
Nah, karena itu adalah realitas sosial dan film mencerminkan realitas maka tanggungjawab FFDIS untuk mewujudkan misinya mendidik masyarakat lewat film difabel menjadi lebih berat lagi.
Anyway, tulisan ini dibuat dalam semangat mendukung, mengapresisasi setinggi-tingginya teman-teman di FFIDS atas jerih payah mereka. Kalau bernada kirits, semata-mata karena saya ingin festival film ini maju selangkah lagi.
Selamat buat kerja hebat kalian!
Tulsian selanjutnya: Film Difabel untuk Siapa?
Posting Komentar