Dalam pertemuan yang singkat, saya hanya ingat namanya Arif. Gampang karena namanya sama dengan namaku. Ia tuli dan bisu.
Sore itu ia datang ke kantor PLD (Pusat Layanan Difabel) ditemani Galih, salah satu relawan kami yang fasih bahasa isyarat. Untuk mahasiswa difabel, kami memang memberi pendampingan sejak mereka mendaftar. Melayani konsultasi jurusan pilihan, mendampingi proses pendaftaran online, pembayaran, dan hal-hal teknis lain terkait persiapan kuliah masuk di UIN.
Dengan mendampingi sejak dini, kami berharap mengenal mereka lebih dekat sebelum kuliah. Tes tertulis seperti mahasiswa lain wajib mereka tempuh, tetapi untuk menilai kesiapan mereka kuliah tes saja kami anggap tidak memadai. Karena kebutuhan-kebutuhan khususnya, 'admisi' khusus sangat diperlukan bagi mereka.
Ada yang bilang, cara itu diskriminatif. Bagi kami tidak. Untuk masuk perguruan tinggi, semua orang harus melewati pendidikan dasar dan menengah. Kalau sistem pendidikan pra-universitas sudah adil bagi mereka, boleh lah mereka diwajibkan bersaing dengan calon mahasiswa lain tanpa intervensi. Faktanya, pendidikan bagi difabel belum inklusif. Tidak adil kalau tiba-tiba meminta mereka yang alumni SLB (sekolah dengan berbagai pembatas dan keterbatasan yang membuat difabel tereksklusi) melewati tes yang dibuat berdasarkan level kemampuan SMA/MAN.
Arif adalah alumni SLB di Bantul. Teman seangkatannya ada enam orang. Dengan bahasa isyarat yang diterjemahkan Galih, saya menanyakan beberapa hal. Katanya, dua dari enam orang itu kuliah di AAK (akademi kulit). Tiga orang lagi tidak melanjutkan karena harus bekerja. Arif memilih daftar di UIN Sunan Kalijaga.
Setelah urusan admisi selesai, Arif segera pamit pulang. Begitu cepat ia pergi sampai-sampai saya tak sempat menemuinya lagi ketika sepotong informasi tentang Arif saya peroleh dari Galih dan mengharuskan saya untuk menemuinya lagi. Ia sudah lenyap.
Ada apa?
Seperti tiga orang temannya yang harus berhenti sekolah, ibu Arif menghendakinya bekerja. Arif anak yatim. Arif tahu, kuliah itu mahal dan tidak mungkin baginya untuk meminta kuliah. Tetapi, ia belum mau memupus mimpinya. "Ia tidak minta izin ibunya Pak," kisah Galih. "Tadi sewaktu diminta mengisi nomor HP orang tua, Arif sempat takut jika UIN menelpon ibunya." Arif tentu tidak ingin menegecewakan beliau karena nekat daftar di UIN.
"Ia membayar dengan uang tabungannya Pak. Galih lihat di rekeningnya hanya 300 ribu." Kisah Galih lagi. Arif khawatir sekali bila ibunya nanti tahu tabungannya tinggal 100 ribu. Duh.
Antara kaget, haru, dan bingung. Saya seperti kehilangan kata sesaat. Wah. "Galih, coba kejar Arif", kata saya sambil mengeluarkan dua lembar uang. "Berikan ini sebagai pengganti uang pendaftarannya tadi!"
Seperti kaget dengan respon saya, Galih malah diam. Wajahnya penuh tanya. "Sudah, cepet kejar dia!" Dengan kebingungannya, Galih mengambil uang dari tangan saya dan keluar kantor PLD. Sayangnya, seperti sudah saya sebut di depan, Arif telah lenyap.
Tidak jarang, di PLD, saya bertemu dengan kisah-kisah menyentuh hati seperti ini. Orang-orang yang sangat ingin kuliah tetapi terhalang oleh berbagai alasan. Bagi difabel, efek disabilitas pasti menghambat mereka kuliah dan karena itulah kami ada untuk membantu. Tetapi, lebih menyedihkan lagi jika penghalangnya selain itu dan kita tidak bisa membantu menyingkirkannya: kemiskinan!
Arif, aku belum bisa menolongmu. Berharap berkah Ramadan, kudoakan mimpimu tercapai!
Posting Komentar