Masjid itu tempat orang datang untuk menyucikan diri. Kita datang ke masjid karena kita merasa kotor dengan dosa yang kita perbuat dan berharap welas-Nya agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Datang bawa dosa, pulang bawa ampunan dan pahala. Rugi, kalau kita datang dan pulang tetap membawa dosa.
Karena mereka yang ke masjid, seperti kita juga, bukan orang suci, maka jangan heran jika masjid juga tempat orang-orang 'nyebelin', the trouble makers. Saya pernah baca kisah teman saya yang pusing mikir jamaahnya karena urusan menyalakan atau mematikan kipas angin. Yang satu merasa kepanasan yang lain merasa kedinginan. Sebagai takmir, mana yang harus diakomodir?
Tanpa melupakan diri sebagai orang yang berpotensi bikin sebel jamaah lain, ijinkan saya curhat tentang jamaah yang bikin saya sebel. Orang ini kalau ke langgar selalu bawa HP. Well, orang sibuk? Mungkin. Tetapi apa susahnya meninggalkan HP di rumah 10-15 menit. Toh kita hanya datang untuk salat berjamaah lalu pulang. Nggak pernah ada kegiatan lain. Atau, kalau mau bawa juga, apa susahnya diset 'bisu'.
Akhir-akhir ini, sudah dua kali HP-nya berbunyi saat kami sedang salat. Nada dering HP-nya bersaing dengan imam kami yang sedang membaca al-Fatihah. Jadi mirip ndengerin Habib Syech gitu: lagunya Arab, diiringi musik.
HPnya tidak ia matikan. Awalnya saya kira karena ia takut membatalkan salat.Tetapi kemarin, saat HPnya berbunyi pas sesudah salam pun ia biarkan dering nyaringnya memecah kesunyian jamaah lain yang tengah khusyuk berdizkir. Cuek pol kae wis. Kalau Anda di posisi saya, sebel nggak kira-kira? Nyari temen sebel (he he he).
Selain soal HP, salatnya juga berisik. Kalau imam baca al-Fatihah, ia seperti berlomba. Saat imam membaca al-hamdulillahi rabbil alamin... maka dengan bacaan sirri yang kencang (duh, sirri koq kencang?) ia segera menyusul al-hamdulillahi rabbil alamin... dengan suara berbisik yang bisa terdengar sampai saf jamaah perempuan di belakang. Dan seterusnya, ayat demi ayat.
Bacaan-bacaan doa salat juga ia sirrikan dengan lantang. Kalau Anda di sampingnya, maka Anda bisa lupa hafalan salat hanya karena mendengar bacaannya.
Karena bingung juga harus bagaimana, saya share pengalaman itu di grup para 'ustadz' alumni Jember. Jawabannya macam-macam: ada yang menyuruh saya berbicara langsung untuk menegur orang itu, ada yang menyarankan saya mengirim surat kaleng, dan lain-lain. Tetapi ada satu jawaban 'nyleneh' yang justru saya suka: Rif, orang itu dikirim Allah untuk menguji kesabaran dan keimananmu!
Saya renung-renungkan lagi. Bukankah memang kita yang datang ke masjid bukan orang suci? Bukankah wajar saja kalau ada satu dua trouble makers? Jadi, untuk apa kita memikirkan mereka sampai sebel? Apa manfaatnya sebel?
Apalagi, mengikuti saran teman saya itu, jika kita bisa menempatkan mereka sebagai ujian kesabaran dari Allah. Menyikapi orang nyebelin dengan kesabaran bisa melatih kita untuk lebih toleran! Mereka adalah ujian dan jika kita lulus, maka kualitas pribadi kita akan meningkat. Begitu kan?
Sejak hari itu, setiap salat di samping orang itu, saya ingatkan diri saya: woles wae bro, iki ujian dari Allah... yuk kita fokus saja pada salat dan komunikasi kita dengan Allah... Efeknya lumayan! Hati saya tenang, salat lebih fokus, dan lama-lama saya malah lupa kalau ada suara berisik di samping saya. Gimana menurut Anda? Siapa tahu si trouble maker ternyata reformis sekelas Mahatma Gandhi dan Martin Luther King. Hiks.
Posting Komentar