Kelas di sekolah anakku heboh. Salah satu murid baru kehilangan uang yang ditaruh di tasnya. Tahun ajaran baru. Murid-murid baru, di kelas satu. Sekolah baru berjalan empat hari. Tetapi 'kejahatan' sudah terjadi.
Tentu saja tidak ada yang mengaku. Sewaktu bu guru bertanya, semua membisu. Kelas pun sunyi tanpa suara. Kecuali hati anakku. Ia tahu 'pengambilnya', tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukkannya. Si 'pengambil uang', apalagi, melotot sambil melempar isyarat dengan jari di bibirnya, "hushh!!".
Anakku kenal si bocah pengambil uang karena mereka sudah bersama sejak TK. Ulah si bocah yang 'lewat batas' bukan yang pertama. Kata anakku, waktu di TK bocah itu sering menyembunyikan mainan milik sekolahan dan di bawa pulang. Tetapi, setahu anakku, mencuri uang baru sekarang.
***
Saya lebih suka menyebutnya bocah pengambil uang. Masak sih anak sekecil itu disebut maling? Dalam Fiqih, anak usia tujuh tahun baru memasuki tahap tamyiz, tahap pertama berakal dan belum dikenai taklif (subjek hukum). Dalam Hadits tentang salat, anak tujuh tahun baru dalam tahap diajari ('allimuu), diisi dengan pengetahuan. Kalau ia melanggar, ia belum boleh diberi sanksi. Dalam Hadits yang sama, sanksi baru boleh dijatuhkan saat usia sepuluh tahun (wadribuuhum wa hum ibn 'asyrah), yang dalam Fiqih disebut baligh (terutama kalau ia sudah haid atau mimpi basah).
Jadi, ia tentu bukan maling. Tetapi perilakunya jelas digerakkan oleh, katakanlah, a criminal mind. Tetapi apa iya anak punya pikiran jahat?
Kebetulan tadi saya mendengar kisah dari Bu Ida Nurlela yang trainer itu soal pengamatannya terhadap prilaku anak-anak kampung yang berkegiatan Ramadan di rumahnya. Ada delapan puluhan anak yang datang. Seminggu sekali, beliau mengeluarkan takjil untuk mereka.
Cara memberi takjilnya unik. Makanan yang sudah dibungkus plastik tidak dibagikan, melainkan ditaruh di satu tempat dan anak dibiarkan mengambil sendiri. Nah, beliau mengamati, ada beberapa anak yang 'punya bakat' criminal. Mereka mengambil bungkusan lalu pura-pura bermain, berbaur dengan yang lain. Tak lama kemudian mereka balik sambil ngomong, "Duh punyaku ditukar aja ya dengan yang itu."
Mereka kembalikan kantong jajan yang telah mereka bawa bermain tadi dan ditukar dengan yang baru. Tetapi ternyata, setelah mereka pulang, apa yang mereka kembalikan tinggal kardus-kardus kosong. Isinya? He he he...
***
Anak-anak, sekali lagi, tidak lahir dilengkapi seperangkat pengetahuan untuk menjadi penjahat atau menjadi pahlawan. Apa yang mereka lakukan barangkali hanya bagian dari naluri survival yang juga dimiliki oleh binatang dan orang gila. Tugas orang tua, keluarga, lah untuk memberikan rambu-rambu itu.
Si bocah tadi mencuri uang hanya untuk beli mainan. "Aku kemarin pinjam juga mainannya," kata anakku. Kubilang, "Dik, besok jangan pinjam lagi ya. Dik Inna kan tahu mainan itu dibeli dengan uang haram. Kalau dik Inna pinjam berarti dik Inna main barang haram." Mungkin terlalu berat untuk ia cerna, tetapi setidaknya ini usaha untuk membuat garis tegas sejak dini bahwa ada hal haram yang harus dihindari.
Posting Komentar