Sebulan menjelang Ramadan, Pak Wahadi dan Pak Ponijo dari Bantengan selalu memintaku untuk bersedia dijadwal datang taraweh dan bukber di musala mereka. Lima tahun lalu, pertama kali saya datang ke kampung kecil itu, musalla mereka juga masih kecil. Bangunannya masih baru dan tampak jelas dari jalan raya karena dibangun di tepi sawah yang sedikit terpisah dari kampung jamaahnya.
Sebagai warga pendatang, saya tidak tahu banyak riwayat keislaman kampung yang dihuni 75 KK ini. Tetapi Bantengan tidak sesantri tempat asal saya di Blitar. Kesan ini dapat dengan mudah ditangkap dari daftar nama warga setempat yang dijadwal menjadi imam dan penceramah mereka: tak satu pun bernama baptis "muhammad" atau "imam" seperti nama-nama di kawasan santri. ADa satu dua nama Arab, itupun berbau Jawa seperti Pak Amat, bukan Ahmad.
Pun demikian, jamaah Musala al-Hidayah di Bantengan selalu membuat saya kagum. Mereka benar-benar 'berkembang'. Musala yang dulu kecil, kini sudah diperluas hampir dua kali lipat. Jamaah Ramadan pun selalu meriah.
Salah satu yang membuat saya kagum adalah kedermawanan warga Bantengan. Ini bukan kampung konglomerat. Warganya mayoritas petani kecil di petak-petak sawah yang terus menyempit karena ekspansi Kota Yogyakarta. Melihat pakain dan penampilan jamaah, kesan kebersahajaan mereka akan segera memancar kuat.
Karena selalu dijadwal untuk mengisi acara bukber, saya bisa menghitung tingkat kedermawanan mereka. Bukber diselenggarakan tiap hari. Musala menyediakan 200-250 kotak makanan. Kalau kampung itu hanya terdiri atas 75 KK, maka setidaknya per hari dua keluarga yang menanggungnya. Kalau per kotak 8000, maka per harinya minimal Rp. 2.000.000 untuk konsumsi atau Rp. 1.000.000 per KK.
Itu angka yang fantastis. Sekali lagi karena Bantengan kampung kecil dan bukan kampung konglomerat. Sedekah Rp 1.000.0000 di bulan Ramadan tentu angka yang besar bagi jamaah yang mayoritas petani itu. Siapa penyumbangnya? "Semua orang Pak, jamaah di sini." Kata Pak Amat. "Tidak susah mencari donatur?" Tanya saya. "Wah, mereka malah rebutan Pak. Simbah-simbah yang sudah menjanda pun nggak mau kalah untuk menjadi donatur bukber." tambah Pak Amat.
Bagaimana bisa? "Ramadan kan sudah jadi acara rutin Pak. Bukan kejutan. Kedatangannya bisa diperkirakan. Sebelum Ramadan tiba, simbah-simbah sudah mulai menabung, demi untuk bisa menjadi donatur bukber." Cerita Pak Wahadi.
Anda mungkin tidak kagum. Tetapi jangan larang saya untuk kagum karena saya punya perbandingan riil. Masjid di pedukuhan saya adalah 'milik' lebih dari lima RT (hampir 450 KK). Dari segi jumlah, masjid kami punya modal umat lima kali lebih banyak daripada langgar Bantengan. Tetapi, baru tahun ini (dulu-dulu nggak pernah), masjid Glagah bisa mengadakan bukber harian. Selain tertinggal lima tahun di belakang Kampung Bantengan, jumlah kotak yang disediakan Masjid pun baru setara mereka, 200-250 kotak perhari.
Jadi, sodaraku. Pertama, kedermawanan itu bukan soal kelonggaran harta yang kita punya. Tetapi soal niat untuk berderma. Kalau kita tak punya rejeki longgar di bulan Ramadan, ya bisa ditabung sebelum Ramadan tiba. Simbah-simbah membuktikan bahwa niat agar mewujud bisa disiasat!
Kedua, umat yang banyak tidak menjamin 'kekuatan umat'. Warga Bantengan yang hanya seperlima warga Glagah ternyata punya kekuatan derma yang lebih. Jadi selain 'siasat niat', penting juga siasat jumlah: bagaimana agar peningkatan jumlah berbanding dengan peningkatan kekuatan jamaah.
Kampung para dermawan itu memang top!
Posting Komentar