Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah. Pada minggu pertama bulan Januari ini, ada dua momentum penting bagi gerakan masyarakat inklusif. Pertama, pada tanggal 4 Januari ini kita merayakan Hari Braille untuk memperingati kelahiran Louis Braille tanggal 4 Januari 1809. Louis Braille adalah seorang tunanetra asal Perancis yang menemukan karakter timbul teraba berformat titik-titik domino yang digunakan kaum tunanetra untuk menulis dan membaca.
Jasanya luar biasa. Bagi kaum tunanetra sedunia, Huruf Braille adalah jendela ilmu pengetahuan dan informasi, jembatan komunikasi, dan media pemberdayaan dan pembebasan diri. Bagi tunanetra Muslim, khususnya, huruf Braille tidak hanya menjadi akses pengetahuan tetapi juga menjadi akses dalam membaca langsung kitab suci al-Qur’an.
كَلاَّ إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ فَمَن شَاء ذَكَرَهُ
Dalam konteks membaca al-Qur’an, tulisan Braille tidak tergantikan oleh tekonologi paling modern sekalipun. Sebab, seperti kita ketahui, pahala “membaca al-Qur’an” tidak akan sama dengan “mendengarkan al-Qur’an”. Kalau sebagian dari kita berkeyakinan dapat mengirimkan pahala bacaan untuk orang yang sudah meninggal, seperti membacakan Surah Yasin untuk almarhum leluhur kita; maka tidak ada ceritanya pahala mendengarkan bacaan al-Qur’an via MP3 dapat dikirimkan untuk orang-orang yang kita hormati dan cintai.
Oleh sebab itu, meski sudah ada software pembaca teks, seperti Jaws di Windows dan talkback di OS Android, yang biasa digunakan para mahasiswa tunanetra di UIN Sunan Kalijaga untuk membaca buku pelajaran dan berkomunikasi; kebutuhan mereka untuk menguasai huruf Braille sebagai akses ke teks Arab dan al-Qur’an tak pernah bisa digantikan. Tunanetra tanpa huruf Braille seperti orang awas yang buta huruf al-Qur’an.
Hadirin yang dimuliakan Allah, Selain memperingati Hari Braille, minggu pertama Januari adalah momentum bersejarah bagi masjid UIN Sunan Kalijaga yang kita cintai.
Pada tanggal 3 Januari 2014, masjid ini meluncurkan layanan khutbah bahasa isyarat pertama dan satu-satunya di Indonesia. Sering saya sampaikan di forum-forum diskusi dan seminar pendidikan inklusi, bahwa kita boleh berbangga menjadi yang pertama; tetapi jangan pernah bangga menjadi satu-satunya dalam hal kebaikan. Kebaikan yang tidak menular bukanlah kebaikan. Maka, jika setelah dua tahun kita menyelenggarakan khutbah bahasa isyarat dan kita tetap menjadi satu-satunya di Indonesia; wajib kita bertanya, “mengapa kebaikan ini tidak menyebar?” Hadirin yang dirahmati Allah, tentu saja jawabannya bukan karena khutbah bahasa isyarat adalah amaliah ahli bid’ah. Setidaknya, ada tiga hal bisa menjadi jawabannya.
Pertama, terbatasnya pemaknaan kita terhadap teks. Misalnya kita menghafal dengan baik Hadits berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: َاْلاِيْمَانُ بِضْعٌ وَ سَبْعُوْنَ اَوْ بِضْعٌ وَ سِتُّوْنَ شُعْبَةً فَاَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَدْنَاهَا اِمَاطَةُ اْلاَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَ اْلحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلاِيْمَانِ. البخارى و مسلم
Dalam hal ‘menyingkirkan gangguan dari jalan’, pemhaman kita biasanya terbatas pada menyingkirkan duri, menyingkirkan pohon roboh, atau paling jauh menutup lobang di jalan yang membahayakan penggunanya. Belum terpikir dalam tafsir kita bahwa اِمَاطَةُ اْلاَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ juga bisa bermakna ruang publik yang akasesibel,dan khususnya masjid yang aksesibel. Kalau menyingkirkan gangguan di jalan adalah sebagian dari iman, bagaimana kira-kira dengan menyingkirkan penghalang bagi kursi roda untuk mengakses masjid? Tidakkah itu sebagian dari iman?Kedua, memberi akses ibadah bagi difabel masih dianggap fasilitas mewah. Seperti barang mewah lainnya, kadang kita berfikir ekonomis: apakah ada difabel di masjid kita? Apakah tidak rugi kita menyediakan fasilitas-fasilitas aksesibilitas? Dua tahun lalu di mimbar ini, saya pernah bertanya: apakah karena tidak ada penyandang kursi roda yang ke masjid atau karena masjid tidak menyediakan akses kursi roda sehingga kita tidak menemui pengguna kursi roda di masjid-masjid kita?
Sesudah khutbah itu saya sempat melakukan penelitian di sejumlah masjid di Yogyakarta. Hasilnya mengejutkan dan sekaligus menyedihkan. Mengejutkan, karena pada saat salat Jumat, ternyata memang ada pengguna kursi roda yang berusaha keras untuk datang ke masjid. Sedihnya, mereka harus salat di emperan atau halaman luar masjid karena rancang bangun masjid tidak memberi mereka akses untuk salat di saf-saf utama.
Dua tahun lalu kita bermimpi, agar masjid-masjid kita seperti masjid-masjid di Amerika Serikat. Pemandangan saf pertama dan kedua yang diberi kursi bagi penyandang disabilitas adalah hal yang lumrah di sana. Di Indonesia, hingga hari ini, pengguna kursi harus membawa sendiri kursi lipatnya ke masjid dan duduk di saf-saf belakang atau di luar masjid karena tidak ingin jadi tontonan, sebab solat di kursi bukan hal yang lazim dan lumrah di negeri ini.
Faktor ketiga yang menghambat penyebaran kebajikan adalah anggapan bahwa difabel bukan kita. Kata ganti, atau ism damir, untuk kata Difabel adalah “mereka”. Karena itu, kepentingan mereka menjadi kurang penting atau bahkan tidak bagi kita. Larangan parkir di depan pintu-pintu akses difabel sering dikomplain dengan nada menggugat, “mengapa karena tunanetra dan pengguna kursi roda saja kami harus parkir jauh-jauh di sana?” atau “Ini bukan kampus inklusif tetapi kampus eksklusif bagi tunanetra dan kursi roda”.
Seolah-olah, aksesibilitas itu bukan untuk kita yang sewaktu-waktu bisa menjadi difabel karena usia, karena sakit, dan karena hal-hal lainnya. Semakin tua usia kita, semakin lemah fisik kita. Padahal semakin tua usia manusia, semakin besar kebutuhannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Jika masjid tidak didesain untuk ramah kepada yang berfisik lemah, maka semakin terabaikan kebutuhan para lansia untuk bisa menikmati hari-hari terakhir hidup mereka di rumah Tuhan mereka di dunia.
Sesekali, karena itu, berfikirlah bahwa meski “kita bukan difabel” tetapi “difabel adalah kita”. Semoga, peringatan dua tahun khutbah bahasa isyarat hari ini dapat mengingatkan kita akan pentingnya menyebar kebajikan di tempat-tempat lain. Kalau Anda mahasiswa, bawalah pulang kisah masjid aksesibel di UIN Sunan Kalijaga ini ke kampung halaman Anda. Sehingga kita tidak perlu berbangga menjadi satu-satunya.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم . ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم . أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم إنه هو الغفور الرحيم .
Posting Komentar