Asal-Usul Perbedaan
Judul : Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia
Penulis : Dr. Al Makin
Penerbit : Suka Press, Maret 2016
Jumlah hlm : 288 + xii
Mengapa masyarakat cenderung tidak toleran terhadap perbedaan? Mengapa vonis sesat terhadap kelompok-kelompok minoritas mudah sekali dijatuhkan? Mengapa perbedaan menjadi momok yang mengancam identitas? Al Makin menawarkan hipotesis menarik dalam buku ini. Ia melihat intoleransi muncul dari sikap ignorance, ketidak-tahuan. Semisal pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Karena tidak mengetahui seluk beluk dan asal-usul perbedaan, maka masyarakat menjadi tidak toleran terhadap perbedaan.
Ekspektasi buku ini adalah: dengan membaca sejarah panjang keragaman iman dan ide di berbagai jaman dan budaya, arogansi iman yang egosentris bisa dipupus. Bahwa sedalam apa pun keyakinan kita, hanyalah salah satu dari sekian banyak eksperimen menempuh jalan kebenaran.
Al Makin memotret asal-usul perbedaan dari tiga sudut pandang: pertanyaan-pertanyaan abadi umat manusia , kota-kota penting dalam peradaban, dan tradisi pemikiran. Tiga tema ini ia tarik mundur dari segi waktu ke masa-masa kuno, dan melintang ke berbagai wilayah dari Timur Tengah sampai Indonesia.
Pertama, apa yang hari ini terformulasikan dalam institusi agama seperti Islam dan Kristen, tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan abadi yang melintas batas geografis dan peradaban. Berbeda dengan yang sering diyakini oleh pemeluk sebagai kebenaran mutlak, jawaban-jawaban yang menjadi bahan terbentuknya agama memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tidak hanya membuatnya menjadi kebenaran relatif, tetapi juga dapat membuatnya tidak relevan.
Al Makin memberikan contoh keterbatasan nalar dalam kasus terbatasnya dunia yang bisa dibayangkan manusia Jawa dalam babad tanah Jawa. Dunia masa lalu yang dibayangkan Babad tidak mencakup belahan dunia lain seperti Yunani. Asal-usul dunia dalam tradisi Yunani, juga tidak mencakup belahan dunia di India, dan seterusnya. Pertanyaan yang dulu dikira sudah terjawab tuntas menjadi terbatas dari sudut pandang dunia kita saat ini yang telah saling terhubung.
Terkiat dengan yang pertama, sudut pandang kedua yang ditawarkan buku ini adalah keragaman tempat. Makkah dan Madinah bukan satu-satunya tempat yang melahirkan jawaban-jawaban atas kegalauan manusia tentang Tuhan dan kematian. Kisah Adam, yang menjadi jawaban asal-usul manusia dalam tradisi Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam), ternyata mirip sekali dengan kisah Adaba dalam tradisi Mesopotamia yang menjadi akar peradaban Timur Tengah (h.65-66). Kisah-kisah semisal juga diciptakan dalam perbagai peradaban lain di dunia. Seperti mitologi Izanagi-Izanami di Jepang, Toruba di Afrika, dan lain-lain.
Asal-asul perbedaan yang ketiga lahir dari pertarungan otoritas “akal” dan “iman”. Ini adalah bagian yang paling berat dari sekian topik diskusi buku Al Makin. Ia mengajak pembaca untuk menikmati pergulatan pemikiran manusia tentang hakikat Tuhan, peran Tuhan dan fungsi akal, untuk membongkar pondasi-pondasi filosofis yang mendasari keimanan kita. Menjadi tekstualis atau liberal bukan hal yang baru muncul hari ini, tetapi sudah lama. Dari Yunani, ke Baghdad, hingga kini juga di Indonesia.
Sebagai penutup, Al Makin menurunkan diskusi dalam lokalitas Indonesia. Nusantara adalah tempat istimewa karena berada di perlintasan dunia dan menjadi titik temu dan ramu berbagai pengaruh iman dan akal yang dibawa peradaban Barat dan Timur. Tidak ada catatan yang jelas tentang asal-usul peradaban lokal Nusantara, tetapi yang pasti Indonesia hari ini adalah rumusan eklektik peradaban besar India (Hindu-Buda), Timur Tengah (Semitik), dan Eropa (gagasan modern nasionalisme yangh merekat ribuan pulau dalam satu entitas Indonesia).
Karena itu, membayangkan Indonesia yang warna-warni selalu lebih mudah daripada Indonesia yang seragam. Al Makin menyarankan agar pembaca lebih mengapresiasi eksperimen-eksperimen agama lokal seperti yang dilakukan Lia Eden sebagai potensi keragaman yang menyatukan daripada sebagai ancaman terhadap identitas mayoritas yang sudah mapan.
Buku ini layak dibaca karena menyajikan data berlimpah, tema yang berat, tetapi tetap dengan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Apakah pembaca dapat menjadi lebih toleran karenanya, mungkin persoalan lain.
(Artikel diterbitkan di Majalah Garta, 13 April 2016)
Posting Komentar