Tahun akademik baru sudah menjelang. Perburuan kursi di perguruan tinggi sudah dimulai. Puluhan ribu kursi disediakan oleh lebih dari 100 perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Pertanyaan yang berulang setiap tahun adalah: akankah para difabel calon mahasiswa baru mendapatkan kursi perguruan tinggi yang diimpikan?
Pertanyaan ini penting karena jumlah difabel yang mengakses pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. Bertanyalah kepada otoritas pendidikan di Indonesia: berapa jumlah mahasiswa difabel di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Kemungkinan besar, tidak ada yang memiliki angka persisnya. Nihilnya data menyiratkan betapa marjinalnya posisi difabel dalam kebijakan pendidikan. Jumlah pun tidak diperhitungkan, apalagi kepentingan dan hak-hak mereka.
UU Penyandang Disabilitas
Sebagian ahli hukum, seperti Roscoue Pound, berpendapat bahwa hukum dapat menjadi alat rekayasa sosial. Karena itu, sebagian pihak berharap UU Penyandang Disabilitas yang disahkan DPR RI awal Maret lalu dapat mendorong peningkatan jumlah difabel yang kuliah. Meski berisi pasal-pasal yang menjamin hak-hak pendidikan bagi difabel, menurut hemat penulis, UU Penyandang disabilitas belum dapat diharapkan membuka pintu akses pendidikan tinggi bagi para difabel.
Pertama, UU Penyandang Disabilitas 2016 bukan undang-undang pertama yang menjanjikan hak pendidikan yang adil bagi para difabel. Lima tahun lalu, Indonesia meratifikasi Convention on The Rights of People with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 tahun 2011. Pasal 24 CRPD mencantumkan nyaris semua hal yang diperlukan bagi para difabel untuk mendapatkan akses pendidikan tanpa diskriminasi. Orang tidak boleh ditolak di sebuah lembaga pendidikan semata-mata karena disabilitas. Faktanya, hingga tahun 2014 (tiga tahun sesudah ratifikasi), masih banyak program studi yang mencantumkan “tidak buta warna, “tidak buta”, dan “tidak tuli” sebagai syarat mendaftar di perguruan tinggi negeri.
Selain klausul anti-diskriminasi, CRPD juga mewajibkan negara pihak untuk menyediakan sarana pendidikan dan komunikasi yang aksesibel. Pasal 24 ayat 3 mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pembelajaran Braille, tulisan alternatif, komunikasi augmentatif, hingga jaminan identitas linguistik bahasa isyarat bagi tunarungu. Faktanya, upaya untuk pemenuhan hak-hak ini masih sangat minimal di level perguruan tinggi.
Selagi CRPD mengisyaratkan perlunya pendidikan inklusif bagi para difabel, upaya pemerintah baru terbatas pada pendidikan inklusif di pendidikan tingkat dasar dan menengah. Perguruan tinggi inklusif belum menjadi program pemerintah pusat walaupun inisiatif dari bawah sudah dilakukan sejumlah perguruan tinggi negeri, seperti yang dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga sejak 2007.
Kedua, UU Penyandang Disabilitas masih memerlukan aturan-aturan pelaksanaan untuk menjadi hukum yang efektif. Evaluasi lima tahun pasca ratifikasi CRPD menunjukkan bahwa CRPD belum berhasil meningkatkan pemenuhan hak difabel dalam pendidikan tinggi. Padahal, CRPD sudah didukung oleh sejumlah peraturan di bawahnya, seperti Pemendikbud No. 46 tahun 2014 tentang pendidikan dan layanan khusus pada pendidikan tinggi.
Artinya, kita boleh bergembira dengan pengesahan UU Penyandang Disabilitas, tetapi berharap dampaknya bagi peningkatan akses pendidikan tinggi adalah hal lain yang tidak mudah dan memerlukan waktu.
Diskriminasi Admisi
Hambatan peningkatan akses difabel ke perguruan tinggi yang kedua adalah diskriminasi dalam proses admisi mahasiswa baru. Sebelum gelombang protes yang memuncak pada 2014 (baca liputan Gatra, 26 Desember 2014), dikriminasi terhadap difabel sangat ‘brutal’ karena dicantumkannya syarat ‘tidak tunanetra’ atau ‘tidak butawarna’ dalam pendaftaran. Tanpa diuji kemampuan akademiknya, seorang difabel langsung ditolak hanya karena disabilitasnya.
Meski diskriminasi dalam syarat admisi sekarang sudah berkurang, diskriminasi lainnya mungkin terjadi dalam proses admisi. Pertama, tidak tersedianya format tes alternatif. Sebagai misal, panitia nasional SBMPTN (Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Negeri) belum menyediakan tes dalam format Braille bagi peserta tunanetra. Pantitia lokal harus menyediakan pendamping khusus dan ruangan terpisah untuk membacakan soal dan membantu menuliskan jawaban peserta tunanetra.
Kedua, tidak disediakannya tes adapatif bagi difabel. Adaptasi diperlukan agar difabel tidak diuji dengan tes yang tidak mungkin diakses oleh jenis disabilitasnya. Misalnya, soal listening dalam ujian Bahasa Inggris. Peserta tunarungu berhak mendapatkan format tes yang diadaptasi untuk menguji komptensi Bahasa Inggrisnya dengan tes pengganti.
Di luar adaptasi format dan jenis tes, peserta difabel umumnya memerlukan waktu yang lebih lama (extra time) akibat hambatan disabilitasnya. Ketika mereka difasilitasi dengan pendamping yang membacakan soal, mereka memerlukan waktu lebih untuk proses pembacaan dan pemahaman soal. Sementara ketika disediakan tes dalam format Braille, misalnya, tunanetra harus mendapatkan waktu lebih karena meraba teks Braille tidak akan secepat mata membaca teks tulis biasa.
Kita berharap tahun 2016 ini Panitia SBMPTN menyediakan prosedur standar akomodasi layanan kebutuhan difabel dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sebab, tidak menyediakan format alternatif dan akomodasi bagi mereka adalah bentuk lain dari diskriminasi yang menghambat akses difabel ke perguruan tinggi.
Inklusi bukan Sekedar Admisi
Kursi difabel di perguruan tinggi tidak akan bertambah signfikan kalau masih ada kesalahpahaman tentang konsep “universitas inklusif”. Dalam beberapa kesempatan seminar atau pelatihan pendidikan inklusif yang penulis hadiri, sejumlah pihak merasa universitas mereka sudah inklusif karena adanya mahasiswa difabel atau alumni yang pernah kuliah di perguruan tingginya.
Padahal, untuk disebut inklusif, indikator-indikator lain harus dipenuhi: apakah lingkungan fisik di kampus aksesibel? Apakah para dosen peka terhadap kebutuhan mahasiswanya yang difabel? Apakah kebutuhan bahan ajar adaptif disediakan? Apakah mahasiswa tunarungu mendapatkan pendampingan dan atau juru bahasa isyarat ketika kuliah? Apakah ada upaya dari pihak universitas untuk melayani kebutuhan-kebutuhan akademik pendukung untuk mahasiswa difabel? Apakah perpustakaan menyediakan koleksi yang aksesibel?
Indikator-indikator ini menunjukkan bahwa ada banyak pekerjaan yang memang menunggu untuk dikerjakan, ada banyak anggaran yang diperlukan untuk membuat lingkungan fisik dan sosial kampus menjadi inklusif, ada banyak pihak (khususnya pemerintah) yang harus berkomitmen untuk menjamin akses pendidikan tinggi bagi difabel. UU Penyandang Disabilitas barangkali dapat menjadi awal komitmen baru bagi pemenuhan hak yang lama dibaikan ini.
ARIF MAFTUHIN
Ketua Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial dan
Peneliti di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Diterbitkan di Gatra, 20 April 2016
Posting Komentar