Saat membaca tulisan Afi yang dulu, tentang media sosial, saya terpesona. Tahu bahwa usianya masih sangat muda, saya terkagum. Membaca tulisan Afi, "WARISAN", saya geleng-geleng tak percaya. Maka, saat mendengar akun Facebook Afi ter-suspend akibat dilaporkan orang-orang yang tak menyukai tulisannya, saya heran: orang macam apa yang membenci tulisan jernih, reflektif, berpesan kedamaian?
Keheranan saya mungkin terjawab setelah membaca sebuah komentar dan khususnya tulisan viral yang mengkritik Afi. Misalnya tulisan viral milik Gilang Kazuya Shimura, dibagi lebih dari 6.0000 kali disuka lebih dari 14.000 orang (heran bener).
Nah, saya tertarik untuk membuat profil para pembenci Afi dari tulisan GKS. Ini nggak fair amat untuk menilai 14000 orang itu, tetapi teks GKS adalah semacama bukti 'forensik' nalar mereka. Teks GKS tampaknya disukai karena ia mewakili kegalauan orang yang tertohok tulisan Afi dan mudah kita temukan jejak-jeka nalar mereka dalam status Facebook.
AGAMA HUMANIORA VERSUS AGAMA MATEMATIKA
Tulisan Afi mewakili corak pendekatan keagamaan yang banyak ditopang oleh ilmu-ilmu humaniora. Tulisan Afi melihat agama sebagai fenomena yang hidup, nyata, dialami, dirasakan, dan bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Saya suka sekali diksi yang ia pilih, "warisan". Ini fakta lho, bahwa bagi banyak orang, agama hanyalah warisan" dari orang tua mereka. Dalam bahasa Afi, tidak hanya agama, "Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita."
Mereka yang membaca teori-teori sosial dan humaniora, paham benar bagaimana teori-teori rumit semacam strukturalisme diperlukan untuk sampai kepada kesimpulan Afi itu. Kalau si Gilang nyuruh (berkali-kali) Afi untuk membaca, saya khawatir, justru Gilang yang belum pernah membaca teori-teori sosiologi agama.
Maka, reaksinya adalah khas: agama matematika. Seolah-olah penjelasan agama itu cukup dengan rumus 1+1=2. Ada Qur'an + Hadits berbunyi begini, hasilnya pasti kebenaran yang begini. Coba cek cara GKS mengutip Hadits:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Bukhari 1296).
Selain tidak nyambung dengan argumen Afi soal agama sebagai fakta sosial, kita yang bergulat dengan dirasah Islamiyyah, pasti mesem-mesem ketika ada orang mengutip Hadits dengan menyebut pasal berangka semacam 1296, seolah-olah seperti menyebut Al-Baqarah: 157. GKS mungkin tidak tahu siapa yang ngasih angka itu dan apakah angka itu bagian dari hadits. Tetapi nalar agama matematis ya begitu, maunya simpel, berumus, dan pasti.
Padahal, kita tahu persis, agama itu yang nomor satu adalah soal CINTA, mencintai Dia yang cinta-Nya kepada kita berlimpah tiada tara; soal mengalami keberkahan yang ia berikan dalam setiap hela nafas kita; soal melembutkan kemanusiaan kita; dan seterusnya. Memahami agama kita sendiri saja susah; apalagi untuk memahami agama orang lain. Masalah agama itu kompleks, tak pernah sesederhana 1+1=2.
NALAR APOLOGETIK
Masih mending kalau cuma matematik; pondasi berpikir GKS dan para followernya adalah adalah nalar apologetik. Qur'an itu benar karena al-Quran mengatakan dirinya benar. Apa buktinya Qur'an itu benar? Karena menurut Surat al-Baqarah ayat 2, al-Qur'an itu benar, tidak ada keraguan di dalamnya. Gagah sekali GKS mengatakan "Balik lagi ke tantangan yang kakak sebutkan diatas, adakah agama lain yang punya ayat setegas Al-Baqarah ayat 2?"
Jiah. Ya untuk apa meladeni tantangan naif begitu. Kalau mereka tidak yakin kebenaran agamanya 100%, ya sudah mereka tinggalkan lama-lama.
Salahkah cara berfikir apologetik itu? Nggak sih. Cuma ada tempat dan waktunya. Di ruang-ruang khutbah Jumat, tempat ketika audien tidak boleh bertanya mengapa dan tempat khatib hanya diwajibkan berwasiat taqwa (dan turunannya). Di luar ruang itu, beragama ya tidak boleh apologetik. Karena al-Qur'an sendiri tidak pernah apologetik: selalu menantang orang untuk berpikir, berakal, merenung alam, merenung lingkungan.
Afi melampaui nalar apologetik itu dengan sangat baik. Menggunakan analogi-analogi yang tak terbantah dengan cara yang mudah dicerna. Adakah jaminan kita akan menjadi Muslim kalau kita lahir di Swedia? Akankah kita jadi Muslim kalau agama orang tua kita Yahudi? Dalam bahasa sosiologis Afi, itu disebut "warisan". Dalam bahasa teologis ini disebut "takdir". Kita tidak pernah bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Apakah orang tua kita Muslim atau Yahudi, Allah yang menentukan.
Bahkan, dalam bahasa tasawuf, iman itu hanya bisa masuk karena pertolongan Allah semata (bahasa lain dari "takdir"). Kalau kita mendapat iman dari cara begitu, ya jangan sombong-sombong amat. Pertama, berterimakasih kepada Sang Pemberi hadiah iman; Kedua, menyebarkan manfaat hadiah itu kepada orang lain. Bukan malah ngolok-ngolok yang nggak dapat hadiah seolah-olah mereka memilih untuk tidak dapat hadiah.
INGIN DAMAI DENGAN INGIN RIBUT
Hal yang paling saya sedihkan, tulisan Afi itu merangkul semua orang tanpa batas. Ia ingin semua manusia bergandengan tangan tanpa peduli "warisan" mereka. Orang tidak ada yang memilih menjadi "Cina" atau "Jawa"; maka jangan bawa-bawa kecinaan untuk membenci. Ajakan Afi baik dan untuk dunia yang lebih baik.
Loh. Ajakan baik dengan argumen yang tak kalah baiknya, koq ditolak dengan argumen yang jelas tersusun tidak baik. Jujur, saya nggak paham niatnya orang kayak gini ini apa. Para pelapor akun Afi itu keterlaluan sekali . Apa yang dicari kalau bukan ribut.
Kesedihan saya membaca akun-akun facebook orang tua yang kekanak-kanakan sungguh terobati dengan membaca akun "anak" bernama Afi yang dewasa. Afi ingin damai. Jangan diajak ribut Om, Tante. Malu.
Sebagai dosen, saya akan sangat merasa bangga kalau Afi Nihaya kuliah di Jogja. Saya yakin Pak rektor Yudian Wahyudi Asmin juga akan dengan senang hati menerima Afi di sini.
Sampaikan salam hormat saya untuk Afi. Salam kenal dan saya tunggu kuliah di UIN Sunan Kalijaga.
Posting Komentar