Saat saya di Madrasah Aliyah yang mengambil jurusan khusus keagamaan, kami dibekali apa yang mungkin disebut sebagai ilmu keulamaan. Ilmu alat dasar seperti nahwu dan sharf, ilmu dasar tafsir (ulumul Qur'an), ilmu dasar Hadits (ulumul Hadits), ilmu Fiqh dan Usul Fiqih, juga ilmu kalam dan sedikit tasawuf, dan kami setiap hari bergulat dengan berbagai diskusi tentang masalah masalah keislaman dengan bekal ilmu ilmu dasar itu. Seolah olah, itu cukup.
Lalu, saya menjadi sadar itu belum cukup karena persoalan agama tak pernah bisa berhenti pada teks dan pendekatan teks. Di IAIN, untungnya, kesadaran itu adalah mainstream. Buku Tafsir Kontekstual karya Taufiq Adnan Amal, misalnya, menandai momentum kesadaran bersama itu. Catatan saya hari ini bukan sesuatu yang baru bagi orang-orang IAIN. Saya tulis untuk pembaca Facebook yang lebih luas.
Intinya. Kita harus membaca melampaui teks.
Salah satunya, membaca teks sebagai manusia. Lho? Memang selama ini kita membaca sebagai apa?
Kita membaca sebagai Tuhan, seolah-olah kita tahu persis pikiran Tuhan, kehendak Tuhan. Sampai kita lupa bahwa teks agama itu sebenarnya untuk manusia, dibaca oleh manusia, untuk manusia.
Dengan melibatkan manusia dalam membaca ajaran agama, maka teks saja tidak pernah cukup. Ilmu Qur'an dan Hadits juga tidak cukup. Apalagi cuma terjemah Qur'an dan Hadits.
Perlunya ilmu tentang manusia untuk memahami agama itu hukumnya wajib. Bukan sekedar pelengkap. Kalau ada ungkapan, "akeh kang apal Qur'an Haditse, (tetapi) seneng ngafirke marang liyane..." itu sumbernya ya pembacaan yang tidak melibatkan manusia tadi.
Qur'an dipegang dan dibaca, dipahami dalam tingkat "kedirian" yang seperti tahu pikiran Tuhan. Lalu ia menggunakan ayat-ayat seperti polisi menggunakan pasal-pasal KUHP untuk mengkategorikan manusia lain sebagai kafir, ahli bid'ah, atau sesat.
Andai ilmu ilmu manusia seperti filsafat, antropologi, sosiologi, itu termasuk dalam cabang ulumul Qur'an yang setara dengan nasikh dan masukh, atau teorinya setara dengan am dan khas, mutlaq dan muqayyad, mungkin kita tidak akan ketemu ustadz-ustadz penebar benci.
Kalau jatuh pada beda tafsir dan pendapat yang berbeda, mereka setidaknya akan kembali mencontoh Imam Syafi'i, "Pendapatku benar, mengandung salah. Pendapat mereka salah, mengandung benar." Bukan "Pendapatku benar sesuai Sunnah, pendapat mereka salah dan menciptakan bid'ah."
Posting Komentar