Wafat: 19 April 2019, Pukul 14:10 |
***
Bapak itu guru, bukan karena bapak menjadi guru di madrasah. Dalam hidupnya, guru itu hanya pengabdian untuk madrasah milik NU yang harus berjuang melawan penetrasi sekolah negeri di sekitarnya. Sebagaimana pengabdian yang juga beliau berikan lewat ngaji kitab di rumah untuk para santri di pesantren dekat rumah. Atau pengabdian lewat wakaf diri, pikiran, dan waktu untuk menggerakkan kekuatan komunal kaum santri desa lewat Nahdlatul Ulama di Blitar sebelah barat. Dari segi profesi, Bapak lebih tepat disebut petani, pekerjaan yang bapak tekuni sampai saat stroke melumpuhkannya.
Bapak itu guru karena dari Bapak saya belajar dasar-dasar dalam hidup ini. Huruf Arab dan Al-Qur’an, dasar semua ilmu yang sekarang menjadi alat dalam profesi saya sebagai pengajar dan peneliti, saya peroleh langsung dari Bapak. Kata demi kata dalam salat yang saya ucapkan setiap hari, juga Bapak yang ajari. Mainan favorit yang tak pernah bapak biarkan habis adalah sekotak batang kapur tulis cap sarjana. Karena dengan kapur itulah Bapak mendampingi saya menulis ABCD. Saya mengenal huruf latin dan membaca sebelum saya sekolah. Semua karena Bapak adalah guruku.
***
Malah, Bapak pernah menolak jadi guru PNS. Tahun 70-an, konon banyak guru yang dipecat karena terlibat PKI. Bapak ditawari untuk mengisi banyak lowongan guru negeri. Beberapa teman Bapak, menerima tawaran itu. Tetapi Bapak menolaknya.
Saya belum pernah bertanya langsung ke Bapak alasannya menolak. Tetapi dengan tahu siapa Bapak vis a vis Rejim Soeharto, pertanyaan tentang alasan menolak itu tidak perlu Bapak jawab langsung.
Pemilu 1971 adalah pemilu paling memilu dalam sejarah Orde Baru. Waktu itu Soeharto sedang mengokohkan kuasa dengan melibas lawan-lawan politiknya tanpa ampun. Tak dapat dipungkiri, NU adalah lawan politik paling serius yang harus ditaklukkan dengan cara apa pun.
Sebagai orang NU, Bapak saya adalah salah satu tokoh muda yang diincar. Khutbahnya diinteli dan menjadi bahan persekusi. Dengan tuduhan anti Pancasila, bapak saya ditangkap babinsa. Tanpa perlu pengadilan bagi kaki tangan Orde Baru untuk memukuli bapak saya agar mengaku bersalah.
Saya tidak mendengar cerita ini dari Bapak. Bapak bukan tipe orang yang gampang curhat soal masa lalu pilu itu. Orang-orang lah yang menceritakan kepada saya dengan penuh puji. "Berbulan-bulan Bapakmu terpaksa pergi dari rumah. Sembunyi, berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Aku, misalnya, pernah mengirim bekal di persembunyian bapakmu di pondok Jampes dan Lirboyo." kenang salah satu orang yang tadi malam takziyah ke rumah.
Meski perolehan kursi NU naik dari pemilu sebelumnya dan keluar sebagai juara dua setelah Golkar, harga yang harus dibayar tidaklah murah. Orang-orang NU seperti Bapak menjadi tumbal kuasa Soharto sejak orde baru lahir. Maka, saya tak pernah berpikir dua kali ketika menjadi pimpinan organisasi mahasiswa 1995-1998 untuk ikut demo ke sana ke mari melawannya. Bapakku, guruku itu, sudah memulainya sejak aku pun belum lahir di dunia ini.
***
Dengan segala waktu yang diabdikan di masa hidupnya, Bapak mungkin bukan pahlawan yang terbaring di taman berbunga kamboja seperti para tentara yang tewas di medan laga. Bapak biar saja tetap menjadi guru. Kalau tidak untuk semua orang (saya tahu yang datang takziyah kemarin banyak yang menyebut diri murid Bapak), Bapak adalah guruku selalu.
Bapak sekarang sudah tidak bersama kami secara jasmani, tetapi saya tak pernah ragu bapak dan keteladannya tidak pernah pergi dari hati kami.
Pun nggih pak. Kulo pamit. Njenengan sare kanti ayem. Mugi pesarean njenengan tansah jembar lan padang. Niki pisah sekedap kemawon, kulo mesti nyusul. Kepanggih malih njenengan amargi kulo namung bade melampah wonten mergi ingkang njenengan tilar.
Jalan yang sama, semoga bertemu di tempat yang sama.
Keparing nggih.
Wonodadi, 20 April 2019
Posting Komentar