Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah.
Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari pendidikan nasional sebagai penghargaan terhadap jasa dan pikiran-pikiran Ki Hadjar Dewantoro bagi pendidikan di Indonesia. Salah satu ajaran beliau tentang pendidikan adalah pentingnya pendidikan seumur hidup, yang menempatkan pendidikan sebagai proses menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari kehidupan dan mengembangkan kehidupan sepanjang hayat (dikutip dari Opini Yudi Latif di Kompas, 2 Mei).
Sekarang, mari kita renungkan baik-baik, kenyataannya berapa banyak lembaga pendidikan mainstream yang berorientasi kepada manusia?
Alih-alih berfikir tentang memanusiakan manusia, apa yang sering kita baca dan dengar adalah “keharusan dunia pendidikan untuk menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0.” Latah soal Revolusi Industri 4.0 ini tidak hanya dapat dibaca dari tulisan populer di media sosial, tetapi juga dokumen-dokumen presentasi para pejabat kementerian pendidikan di Indonesia, hingga dalam teks pidato sambutan menteri pendidikan dan kebudayaan yang dirilis dalam rangka hari pendidikan nasional kemarin.
Kita sudah tidak malu lagi untuk mengakui bahwa pendidikan kita adalah seperti yang bertahun-tahun dikritik orang: pendidikan yang berorientasi pasar, melayani pasar, tunduk pada kemauan pasar, dan tidak menjadi lembaga yang bertujuan mendampingi anak didik untuk menjadi manusia seutuhnya. Dunia pendidikan kita ternyata memang dari hulu sampai ke hilir ingin memproduksi “barang” yang dibutuhkan pasar.
Bukti pelayananan terhadap pasar yang paling jelas adalah dalam bentuk segala jenis standarisasi. Dunia pendidikan tak ubahnya perusahaan yang bangga mendapatkan sertifikat ISO. Mesin akreditasi menyeragamkan dunia pendidikan hingga ke teknis-teknis detil seperti standarisasi mesin-mesin di pabrik dan proses produksinya. Kita menjadi lupa, benar-benar lupa, bahwa pendidikan juga harus mengemban misi yang disebut ki Hajar sebagai “proses menjadi manusia seutuhnya”.
Hakikat manusia itu unik karena Allah menciptakan kita senantiasa dalam keragaman, bukan keseragaman. Jangankan orang yang beda etnis dan bangsa, orang kembar pun tak pernah identik, selau unik. Manusia berbeda dengan produk pabrik. Tetapi mengapa kita dan dunia pendidikan kita bisa sangat terobsesi dengan keseragaman produk pabrik?
Hal paling mengerikan dari obsesi kita kepada standar itu adalah ketika lembaga pendidikan menyeleksi calon peserta didik dengan standar tertentu. Seleksi masuk sekolah seperti seleksi produksi pabrik: ambil yang sesusai standar, buang yang tidak sesuai standar. Proses seleksi masuk ke dunia pendidikan menjadi seleksi bibit unggul. Semakin terkemuka sebuah lembaga pendidikan, semakin ‘gila’ dalam menyingkirkan bibit yang tidak unggul.
Hal paling mengerikan dari obsesi kita kepada standar itu adalah ketika lembaga pendidikan menyeleksi calon peserta didik dengan standar tertentu. Seleksi masuk sekolah seperti seleksi produksi pabrik: ambil yang sesusai standar, buang yang tidak sesuai standar. Proses seleksi masuk ke dunia pendidikan menjadi seleksi bibit unggul. Semakin terkemuka sebuah lembaga pendidikan, semakin ‘gila’ dalam menyingkirkan bibit yang tidak unggul.
Pernah dulu, saat saya menjadi ketua prodi, kami diminta untuk menyerahkan kriteria calon mahasiswa ‘ideal’ yang akan dipilih dalam proses admisi mahasiswa baru UIN Sunan Kalijaga. Beberapa prodi sudah mengajukan kriteria ideal itu dalam definisi yang kurang lebih sebagai berikut: calon mahasiswa yang disiplin, berkelakuan baik, tidak punya catatatan kenakalan di sekolah, dan seterusnya. Intinya ambilah yang anak saleh.
Saya waktu itu tiba-tiba berpikir: kalau sebuah universitas negeri hanya mau mendidik yang sudah baik-baik, lalu yang ‘tidak baik’ dibuang, dimana tanggungjawab kita sebagai universitas negeri? Bukankah kita dibiayai oleh pajak rakyat yang tidak semuanya orang saleh? Mengapa kita jadi diskriminatif begitu?
Saya menekankan kenegerian sebagai status penting karena di situlah posisi lembaga pendidikan negeri sebagai tangan kuasa negara. Bukankah sejelek apa pun anak negeri ini adalah tanggungjawab negara untuk mendidiknya? Atau bukankah justru yang jelek-jelek itu yang harus diprioritaskan? Sebagai pelaku kecil dalam jagat dunia pendidikan, seorang ketua prodi atau seorang dosen, saya hanya bisa bertanya dan bertanya saja memang.
Saya sadar bahwa sistem pendidikan lebih kompleks dan rumit dari yang saya pertanyakan, tetapi setidaknya kita boleh dan wajib merenung: apakah ayat ini relevan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi?
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ
Jika lembaga pendidikan itu sebuah majlis, mengapa masih berpikir seleksi, tidak berpikir tafassuh? Memperluas akses pendidikan ke semua orang? Mengapa yang lebih kita pikirkan adalah mencari bibit unggul untuk melayani pasar, tetapi tidak memikirkan yang tertinggal dan perlu dirangkul?
Dalam kasus pendidikan inklusif bagi para difabel, hanya filosofi al-Mujadilah inilah yang paling relevan. Pendidikan inklusif itu merangkul yang tersingkir (salah satunya difabel), menjemput yang tertinggal (bisa jadi difabel), mendengar yang terabaikan (seringkali difabel). Tafassakhu fi at-taribyah, yafsahillahu lakum. Sebab hanya dengan demikianlah sesungguhnya sistem pendidikan kita akan menjadi sistem yang bisa mengangkat derajat beberapa tingkat lebih mulia.
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
Pendidikan yang inklusif dan merangkul yang tertinggal agar mereka terangkat derajatnya lewat ilmu yang kita sebaakan seluas-luasnya, bukan ilmu yang kita sekat-sekat dalam jalur seleksi dan spesialisasi.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم . ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم . أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم إنه هو الغفور الرحيم .
Posting Komentar