Dunia akademik Indonesia itu memang kadang punya peraturan yang aneh. Contohnya, plagiarisme ditentukan oleh tingkat similaritas sebuah naskah dengan naskah lain. Aturannya ada yang maksimal 20%, ada yang 25%. Saya termasuk yang tidak pernah setuju aturan itu.
Pertama, plagiarisme itu bukan hanya soal similaritas, tetapi ide. Idenya yang dicuri, bentuknya bisa 95% berubah. Kalau Anda pernah baca novel dalam bahasa Inggris, lalu Anda membuat cerita yang sama dengan novel itu, meski nama pelaku dan tempat diganti, Anda tetap saja plagiat. Maling!
Kedua, similaritas itu hanya gejala. Belum tentu naskah yang similaritasnya 10% atau bahkan 0% bukan plagiat. Mengapa? Karena persentase itu diukur dari database si mesin. Hanya jika naskah aslinya ada di Turn**** saja similaritas itu bisa diperoleh. Padahal, berapa sih naskah yang sudah digital? Berapa persen dari yang digital terdeteksi Turn****?
Ketiga, terkait kedua, plagiarisme itu bukan hanya soal berapa persen karena plagiarisme itu soal ketidak-jujuran. Walapun cuma tiga, dua, atau satu paragraf pun, tidak sampai 1% similaritas, tetapi kalau paragraf itu adalah milik orang lain, maka si penulis sudah ngibul! Ia tidak menulis sendiri, ngaku nulis sendiri. Tidak membaca buku yang dirujuk oleh si penulis asli, mengaku membaca bukunya. Ngibul is ngibul!
Sakit sekali kalau kita susah-susah nyari buku referensi, berhari-hari mungkin kita cermati isinya, hati-hati kita bikin kesimpulan atas bacaan kita, lalu tiba-tiba kita temukan tulisan kita itu di artikel orang lain. Dicomot, tulisan kita dibuang, tidak dikutip, padahal tiga paragraf itu adalah hasil keringat kita!
Tuan editor Jurnal al-Qanun UIN Sunan Ampel, tolong cabut naskah ini dan cap artikelnya sebagai plagiat!
Anda, orang IAIN Jember yang menulis naskah ini, saya tunggu pengakuan dosa Anda di sini.
Anda, orang IAIN Jember yang menulis naskah ini, saya tunggu pengakuan dosa Anda di sini.
Posting Komentar