Saya kemarin belum cerita bagaimana Caca yang memilih menjadi perempuan, tetap dalam iman Kristiani, dan menjalani hari-hari kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Meskipun, seperti yang pernah saya ceritakan, kami menjanjikan kepada Caca untuk tetap bebas menganut keyakinannya, tetapi Caca sendiri yang memilih menjadi “mahasiswa muslimah” dalam penampilan. Setiap ke kampus, sejak awal kuliah sampai wisuda, Caca berjilbab.
Ya, berjilbab gitu. Identitas yang rumit bukan? Laki-laki tetapi perempuan. Kristen tetapi berjilbab. Dan... jangan lupa, ia Tuli tetapi profesinya adalah penari. Jika Anda percaya mukjizat itu ada, tidak perlu laut dibelah. Caca adalah mukjizat luar biasa.
Koq dia memilih berjilbab? Saya pernah tanya dia, dan dia menjawab dengan santui kalau dia lebih nyaman pakai jilbab ketika ke kampus. Saya sendiri menduga karena jilbab memberi aksentuasi feminin yang lebih kuat bagi Caca yang sedang berusaha untuk menjadi perempuan sepenuhnya. Ini penjelasan sederhananya. Tetapi kompleksitas identitas Caca mempunyai akar yang lebih panjang.
FYI, meski kami baru ketemu di Jogja, Caca ini ‘tetangga’ saya. Sama-sama orang Blitar dan rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Maka, begitu saya kenal Caca di Jogja, saya sempatkan main ke rumah orang tuanya di Maron, Srengat. Dan di sinilah akar fleksibilitas dan cross identities itu berasal.
Orang tua Caca adalah penganut Katolik yang taat. Rumahnya hanya selemparan sandal dari GKJW Jemaat Maron. Sewaktu saya berkunjung hari itu, Natal hampir tiba. Beberapa orang sedang bersih-bersih gereja.
“Saya suruh Caca belajar salat di Jogja”, kata Pak Sapto, ayahnya, karena beliau sadar bahwa Caca kuliah di universitas Islam. Islam sendiri bukan barang asing bagi jemaat Katolik Maron. Sanak dan kerabat mereka campur-campur, ada yang Kristen, ada yang Muslim. Bulik saya menikah dengan orang di daerah situ, dan kebetulan juga masih saudara Caca.
Nenek moyang mereka juga tak jauh berbeda dengan nenek moyang saya atau orang-orang di daerah kami pada umumnya. Mbah buyut canggah apalah saya, dulu adalah prajurit Diponegoro yang lari dari kejaran Belanda sesudah ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Sawo di utara langgar tua di depan samping rumah simbah saya salah satu saksinya. Nenek moyang orang Kristen Maron konon juga prajurit Diponegoro. Bedanya, mereka memilih menjadi Katolik untuk menghindari persekusi.
“Jadi, kamu belajar salat sama siapa?” Tanya saya ke Caca, setelah saya mendapatkan informasi dari bapaknya itu.
“Sama relawan PLD,” katanya.
Saya bilang ke Caca, sambil senyum, “Kamu nggak perlu belajar salat, nggak perlu pindah agama. Ngapain? Kamu ke UIN kan cari ilmu, nggak cari agama?”.
Bapaknya dengan santai menyambung, “Mboten nopo-nopo pak, kersane.”
Tetapi begitulah, kami mendiskusikan ini sepenuhnya dalam suasana saling percaya pada iman masing-masing. Agama toh hanya cara menjadi baik. Maka, saya kira, demikian juga dengan simbol-simbol seperti pakaian. Jilbab hanya salah satu cara/simbol untuk menjadi baik. Ketika Caca merasa jilbab bisa membuat dia lebih baik, ya dipakai saja.
Posting Komentar