Tadi malam, beliau nelpon saya menanyakan rekomendasi.
|
Sepulang dari Purworejo, dengan data terbatas yang saya miliki dan situasi yang saya ceritakan di catatan pertama, saya segera menghubungi teman-teman Muhammadiyah. Sebenarnya pas saya ke Purworejo hari itu, ada juga tim PD Aisyiah Jateng yang dimotori mbak Kasiyati, advokat hak anak dan difabel, yang juga ke lokasi.
Kami janjian tetapi meleset waktunya dan tidak bertemu di lapangan. Tetapi saya mengkomunikasikan hasil temuan saya di lapangan dengan mereka. Seperti yang saya tulis, saya menyarankan agar teman-teman Muhammadiyah yang mengambil peran lebih aktif karena ini dalam banyak aspek kasus bullying ini menyangkut kepentingan Muhammadiyah.
TERHADAP KORBAN PERUNDUNGAN
Prioritas pertama terhadap korban adalah memastikan bahwa dialah yang lebih berhak untuk tetap sekolah di SMP Muhammadiyah butuh. Rencana memindah dia ke SLB itu sama sekali tidak dibenarkan dari berbagai aspek. Pertama, memindah korban itu sama dengan blaming the victim. Sementara si pelaku menjadi tidak terhukum. Langkah Ini adalah kegelapan di siang hari.Kedua, jarak SLB lebih jauh dari rumah, si anak harus tinggal di asrama, sementara anak itu adalah difabel dengan kemandirian yang terbatas. Jadi, bukan soal Pemda Jateng mau menanggung biayanya, tetapi lebih ke soal beban psikologis si anak.
Ketiga, sejelek-jeleknya SMP Muhammadiyah Butuh, kalau toh dianggap demikian, masih lebih baik daripada SLB. Coba baca testimoni langsung dari para difabel seperti Tyo, Dyan, dan para orang tua yang mengomentari surat dan pernyataan saya.
TERHADAP PELAKU PERUNDUNGAN
Sejak dari kasus ini muncul, concern dan keberpihakan saya adalah kepada difabel yang menjadi korban. Saya sendiri bukan akademisi yang memberikan perhatian kasus ini karena itu sesuai dengan pendidikan saya, tetapi lebih sebagai praktisi yang setiap hari bergulat dengan isu difabel. Saya tidak belajar ilmu soal hak anak dan tidak punya pengalaman dengan kasus-kasus perlindungan hak anak.Tetapi saya bisa mendengarkan dan memahami perspektif hak anak dalam kasus ini. Tiga pelaku itu adalah ‘korban’. Ya korban, pertama sebagai korban orang tuanya yang tidak bisa mendidik dengan baik (ketampar mukaku, apakah aku sudah mendidik anakku dengan baik?). Kedua, korban sistem pendidikan yang telah membuang mereka. Ya kan? SMP Negeri yang memiliki resources berlipat dari SMP Muhammadiyah mana mau ngurusi anak-anak begini? Ketiga, korban masyarakat yang mayoritas punya pandangan negatif terhadap difabel: mulai dari gagal paham sampai jijik takut ketularan. Keempat korban kultur kita yang permisif terhadap kekerasan. Emang guru tidak ada yang senakal mereka? Namanya kultur, bisa siapa saja yang melakukannya. Anak-anak itu hanya korban.
Maka, sebagai korban, kita pun wajib bijak menangani mereka. Ora njuk langsung “keluarkan mereka dari sekolah itu!”, “hukum sekeras-kerasnya biar kapok.” Lha kapok itu kalau dia sadar dan paham bahwa apa yang dilakukan itu salah. Kalau dia pikir apa yang dilakukan itu normal, sama seperti ‘norma’ masyarakatnya yang tidak ramah difabel dan permisif terhadap kekerasan, yang ada justru denial. “Aku nggak salah koq dihukum? Yang lain juga melakukan koq cuma aku yang dihukum?” dan seterusnya.
Solusinya? Saya bukan ahlinya. Monggo yang ahli silakan menulis komentar di bawah. Saya siap belajar dan saya bantu untuk sampaikan ke Ndoro Gubernur yang setelah surat itu saya kirim, hampir tiap hari nelpon saya untuk tindak lanjut yang tepat.
CRISIS INTERVENTION
Seperti saya tulis sebelumnya, Muhammadiyah perlu segera mengkoordinasikan tindakan crisis intervention dengan segala resources yang dimiliki. Secara institusi, di Purworejo ada Universitas Muhammadiyah Purworejo, ada lembaga yang ngurusi pendidikan, dan ada banyak kader yang hebat-hebat untuk membantu.Di pihak pemerintah, khususnya Pemkab Purworejo, langkah-langkah besar perlu dilakukan untuk menjamin hak-hak pendidikan warga difabel di wilayahnya. Sekali lagi, karena saya bukan fan SLB, Pemkab perlu menjadi motor edukasi pendidikan inklusif bagi para guru. Saya sebut guru karena saya bukan fan 'sekolah inklusi rasa segragasi' yang biasanya lebih terfokus semata pada sarana dan prasarana aksesbilitas bagi difabel atau pengangkatan GPK. Ya, itu penting tetapi bukan nomor satu. Apa gunanya sibuk membuat ram kalau penghuninya belum ramah terhadap difabel?
Dua pihak tersebut, Muhammadiyah dan Pemkab, pasti bisa bersinergi untuk menyelesaikan kasus ini sebaik-baiknya.
Saya dan Tim PLD sendiri, bila diperlukan, sudah menyiapkan diri untuk membantu SMP Muhammadiyah Butuh menjadi sekolah yang inklusif. Seperti sudah saya ceritakan sebelumnya juga, SMP ini punya potensi berbasis kearifan lokal untuk menjadi inklusif. Jika perlu, abaikan saja inklusi versi sekolah lain atau versi regulasi pemerintah, karena yang lokal-lokal itu lebih cocok.
Posting Komentar