"Mungkin kita harus berani ambil tindakan. … yang begini, boleh gak sih dilikuidasi? Saya kira kalau seperti itu, gak ada muridnya, atau gak bisa keluar dengan baik, ditutup saja atau digabung dengan sekolah kiri kanannya," (Ganjar Pranowo, 12/2/2020)
Ini fakta di lapangan: SMP Muhammadiyah Butuh punya murid 21 orang, dengan guru 13 orang, 5 di antaranya sudah sertifikasi, sisanya dibayar per jam Rp7.000. Gedungnya bagus. Ada fasilitas Musala dan Laboratorium (meskipun fasilitasnya jangan dibanding dengan sekolah negeri). Sekolah ini sudah lebih dulu berdiri, sebelum SMP Negeri yang hanya berjarak sekian ratus meter, menggerus peminatnya.
Pak A, kepala sekolah, aslinya bukan guru. Ia adalah perangkat desa, seorang kader Muhammadiyah yang terpanggil jiwanya untuk mengabdi kepada misi luhur organisasinya. "Daripada saya hanya mengurusi berkas di kantor, di sini saya bisa mengurusi manusia." Bahwa ia mungkin khilaf dalam kasus pemukulan N, ia manusia seperti manusia lainnya. "Nek mung arep maedo, yo gampang to mas."
Fakta menarik yang saya temukan di lapangan. N bukan satu-satunya difabel di sekolah itu dan dalam sejarah sekolah itu. Pak A sendiri adalah seorang difabel. Kaki kirinya, kalau tidak salah ingat, pernah mengalami kecelakaan di rumah. Untuk berjalan, ia dulu harus dibantu kruk. Sekarang sudah lumayan, bisa berjalan dengan bantuan tongkat. Ringan atau berat tidak penting kan. Ia difabel.
Selain kepala sekolah dan N, ada lagi satu difabel lain di situ. Namanya T, umurnya sudah 17 tahun tetapi baru duduk di kelas 2. Saya sempat bertemu T dan mencoba mengajaknya bicara tentang sekolahnya, guru-gurnya, kasus pemukulan itu, pelajaran apa yang ia sukai, dan sejauh obrolan ringan hingga sedang, ia bisa mengikutinya. Mungkin ia hanya tergolong slow learner, nggak tampak gejala down syndrom. Saya tidak berani menyimpulkan secara akurat sih. Anaknya sangat santun. Kalau Menteri Nadiem jadi mengubah standar kelulusan dengan etika, anak ini pasti lulus.
Selain T, di zaman kepemimpinan Pak A, SMP Muhammadiyah Butuh juga pernah mengasuh dua difabel. Secara istilah Pak A menggunakan diksi yang ‘tidak akademik’ untuk dua difabel ini. Saya istilahkan saja di sini sebagai down syndrom dan tunadaksa. Keduanya sudah lulus. Salah satunya bisa melanjutkan sekolah dan lulus SMA.
Para difabel itu umumnya sekolah di SMP Muhammadiyah Butuh karena Pak A turun tangan sendiri, menjemput dan merayu mereka untuk mau sekolah. Saya tidak akan menghakimi motif lainnya, tetapi menurut pengakuan beliau, tindakan itu dilakukan karena ia kasihan dengan anak-anak itu. “Mereka ini nganggur di rumah, atau dipekerjakan secara berlebihan, dan tidak memperoleh pendidikan. Saya ingin menaikkan derajat mereka dengan ilmu. Kalau tidak kita urus, siapa yang mengurus?” Pak A mengisahkan bagaimana ia meyakinkan para orang tua anak itu untuk mengizinkan mereka belajar.
“Si Fulan itu akhirnya bisa lulus SMA dan sekarang bisa bekerja. Penampilannya menjadi baik dan lebih dihargai orang. Siapa yang tidak bahagia bila anak yang kita asuh bisa seperti itu?” katanya.
Sekolah negeri mana mau menerima anak-anak yang akhirnya sekolah di SMP Muhammadiyah Butuh. Di Indonesia, ada banyak sekolah swasta yang nasibnya sama dengan SMP Muhammadiyah Butuh. Muridnya sedikit, ‘dijual’ tidak laku, hidup enggan mati tak mau, tetapi mereka menjadi satu-satunya harapan banyak anak negeri kita yang terbuang dari sistem pendidikan kita yang menyingkirkan.
Maka, apakah sekolah-sekolah seperti ini adalah ‘sekolah buangan’ yang tidak pantas hidup dan harus ditutup, atau sekolah pahlawan yang menyelamatkan banyak anak negeri yang terbuang? Tergantung Anda mau melihatnya dari mana. Setengah kosong atau setengah isi.
Saya memilih yang kedua: mereka adalah sekolah pahlawan. Alih-alih ditutup, kalau perlu sekolah semacam ini diopeni oleh negara. Sebab, di tangan merekalah kebanyakan anak-anak yang dibuang oleh sekolah negeri ditampung.
Adisucipto, 18 Februari 2020
Posting Komentar