Bagi saya, ilmu sharf itu aib yang saya sembunyikan sampai hari ini. Kenapa aib? Karena berbeda dengan nahw, saya tidak pernah menemukan “moment of oooo.” Meskipun pengetahuan saya tentang Nahw juga tidak canggih-canggih amat, tetapi setidaknya saya memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup untuk membaca teks-teks Arab, bisa menerjemahkan, dan bahkan hidup dari menerjemahkan teks-teks Arab.
Jika dalam nahwu minimal saya pernah menghafal lebih dari separuh nazam Imriti (di saat ‘hafal’ tidak sebanding lurus dengan paham), saya hanya selesai di halaman pertama kitab Amtsilah Tasrifiyah. Beli kitab Tasrifan legendaris itu mungkin kelas 1 Tsanawiyah, tetapi mengatamkannya tidak pernah.
Masalah saya dengan sharf itu karena lembaga pendidikan yang saya lewati selalu menganaktirikan Sharf. Saya ngaji Jurumiyah saat mondok di Al-Kamal Kunir (waktu tsanawiyah), tetapi tidak dengan tasrifan. Saya belajar nahwu siang malam di MAPK Jember, tetapi tidak dengan Sharf. Saya belajar muhadatsah di laboratorium Bahasa Arab hampir tiap hari saat Aliyah, tetapi tidak sharf.
Meski demikian, bukan berarti saya tidak tahu pentingnya Sharf. Orang yang belajar bahasa Arab pasti tahu nahwu dan sharf itu satu paket yang harus 'dibeli' kalau ingin pintar Bahasa Arab. Oleh sebab itu, saya mencoba belajar secara otodidak. Sekitar tahun 1992, saya beli kitab Nahwu Wadih yang untuk Madrasah Tsnawiyah (Aliyahnya Mesir) yang tiga jilid itu (lihat foto). Nahwu Wadih untuk ibtidaiyah kami baca dan pelajari di kelas sebagai materi resmi, tetapi tidak yang Tsanawiyah. Hasilnya? Jilid 1 pun nggak tamat!
Jejak belajar otodidak |
Saya duga, mengapa di semua level pendidikan itu sharf seperti diabaikan karena dua hal: Pertama, tidak ada ahlinya. Sharf itu ilmu yang sulit. Tidak banyak orang yang cukup menguasainya sehingga susah mencari guru yang ahli sharf. Kedua, Sharf itu bukan ilmu kaedah, tetapi sama’i. Ya, tentu saja para ahli berusaha mengkaidahkan lewat puluhan wazan itu dan karenanya lahir ilmu Sharf, tetapi bagaimana sebuah kata dibentuk dan berbentuk itu ya suka-suka orang Arab.
Menurut saya yang gagal paham ilmu Sharf, kita tidak mungkin belajar sharf tanpa menguasai kosakata-kosakata aneh yang mungkin jarang digunakan.
Begitulah, sampai sekarang saya tidak menguasai Sharf. Jelas, itu aib bagi dosen yang mengajar Fikih, tetapi cukup menjadi alasan mengapa saya tidak berani mengolok-olok para ustadz yang salah menasrif. Mungkin nasib mereka saat mondok dulu saya dengan saya.
Karena tasrif itu aib, tolong jangan bilang-bilang yaðŸ¤
Posting Komentar