Screenshot: merahputih.com |
Kalau kita cermati baik-baik pernyataan para pejabat kita dalam menghadapi wabah Covid-19, ada satu hal sangat penting yang ‘gaib’, hilang dari benak mereka, hilang dari pidato mereka, hilang dari kebijakan mereka: rakyat yang berdaya dan mandiri!
Semua pidato itu dibuat dalam narasi satu arah: kami yang kuasa, kami yang punya informasi, kami yang ambil keputusan baik dan buruk, kami yang akan selesaikan masalah ini. Anda, dengarkan kami, percaya kami, ikut kami!
Saya tidak melihat, misalnya, pemerintah mengajak ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari gugus tugas dan solusi untuk menghadapi wabah ini. Padahal kita tahu, ormas Islam punya jaringan sampai ke akar rumput. Ormas Islam juga punya resources yang tidak boleh diremehkan. Sekolah, pesantren, universitas, hingga rumah sakit.
Jaringan umat dan sekaligus resources itu bisa jadi beban tetapi bisa jadi kekuatan, tergantung cara pandang pemerintah. Kalau cara pandang pemerintah adalah seperti yang saya sebut di alinea kedua: kami adalah pusat kuasa dan informasi, sementara rakyat adalah objek kuasa yang tidak mandiri, diperlakukan sebagai ‘barang milik’ yang hanya bisa dilindungi, maka jaringan umat dan resources ormas menjadi beban. Beban berat sekali.
Ketika rakyat menjadi beban: Anda kasihan atau tidak berdaya?
Pemimpin di ‘dekat sini’ ada yang menyampaikan pidato demikian, “Kita mendengarkan suara rakyat. Rakyat bilang, bagaimana kalau sekolah libur, kantor libur, pariwisata ditutup, kami makan apa? Maka, demi mendengar mereka, kita tidak ikut-ikutan daerah lain yang sudah menetapkan KLB atau meliburkan sekolah. Pariwisata biar tetap jalan, agar rakyat tetap makan”Ibarat dalam sebuah keluarga, kebijakan itu mirip dengan orang tua yang kurang bisa ngurus anak yang menjadi bebannya. Bisa ngasih makan, mungkin, tetapi ya cuma sekali sehari.
Maka, anak-anak pun terpaksa turun di jalan, ngamen dan menggelandang. Ketika orang tahu bahwa jalanan itu tidak aman bagi anaknya, bisa mengancam nyawanya, ia seharusnya menyuruh mereka kembali ke rumah. Tetapi karena di rumah ia juga tidak bisa memberi mereka makanan, maka ia biarkan ‘bebannya’ itu berkeliaran di jalanan, cari makan.
Maka, kita bisa bertanya, apakah membiarkan pariwisata dibuka lebar itu demi kepentingan rakyat untuk bisa tetap makan atau karena tidak berdaya mengurusi ketika rakyat yang dianggapnya beban itu butuh makanan selama periode darurat ditetapkan?
Mengubah rakyat sebagai mitra
Coba saja pemerintah mengubah cara pandangnya terhadap rakyat, dari beban dan tanggung jawab menjadi “mitra”. Tanpa melibatkan potensi NU dan Muhammadiyah, maka umat dua ormasi ini otomatis menjadi beban pemerintah. Tetapi jika sebaliknya yang dilakukan, bisa jadi dua organisasi ini akan meringankan beban pemerintah.Misalnya, NU bisa mengurusi umatnya untuk melakukan langkah-langkah tanggap bencana. Kalau pemerintah takut tidak bisa memberi makan rakyat miskin yang tidak bisa bekerja selama dua minggu atau sebulan lockdown, NU bisa menggerakkan Lazisnu untuk ngopeni jamaahnya yang miskin. Bikin dapur umum dan mengerahkan Banser untuk mengirimkan makanan ke rumah-rumah. Masak tidak mungkin?
Dengan koordinasi yang baik, Muhammadiyah bisa menggunakan jaringan rumah sakitnya untuk menopang layanan kesehatan. Mungkin rumah sakit Muhammadiyah tidak harus ngurusi yang kena Corona, tetapi bisa mengambil alih load pasien dari sebuah rumah sakit pemerintah yang dispesialisasikan menjadi rumah sakit pasien Corona. Masak tidak mungkin?
Intinya adalah: pemerintah jangan main sendiri, sok kuat, sok tanggungjawab, untuk mengatasi wabah Corona. Jangan lupa, se-otoriter dan sekuatnya pemerintah China, Wuhan bisa bertahan dalam lockdown karena ribuan orang menjadi relawan di berbagai front: antar makanan, belanja makanan untuk manula yang terisolasi, distribusi masker dan alat kesehatan, sosialisasi, dll. China yang civil society-nya lemah saja, potensi kerelawanan mereka bisa bangkit, apalagi Indonesia.
Tidak ada satu pemerintahan pun yang bisa menghadapi wabah Corona ini tanpa melibatkan peran serta dan kerelawanan rakyatnya. Mumpung belum telat, segera libatkan ormas keagamaan, lembaga filantropi, lembaga-lembaga zakat, untuk bergerak membantu. Saya yakin, di NU dan Muhammadiyah akan ada ribuan orang yang dengan senang hati bergerak bahu membahu menyokong kehidupan bersama bila sebuah kota terpaksa ditutup total seperti Wuhan. Masak tidak mungkin?
Posting Komentar