Ini tulisan iseng kaum murabihun yang harus segera ditumpahkan sebelum Ramadan tiba. Agar nanti bisa fokus ngibadah dan tidak menjadi kaum mutadadirun (tukang tidur-tiduran) selama puasa.
Sebagaimana kaum murabihun (orang-orang yang rebahan), saya lebih banyak menggunakan waktu untuk mengkonsumsi daripada memproduksi. Konsumsi saya yang paling banyak tentu saja tentang wabah ini. Pagi sore siang malam, nyaris tidak ada waktu yang terlewat tanpa konsumsi informasi seputar Covid-19.
Informasi terbanyak adalah dari Smart TV. Saya bikin playlist di Youtube dan IPTV untuk chanel-chanel berita: mulai dari CNN, ABC, Euronews, CNA, Arirang, SGTN, DW, French 24, Skynews, sampai dengan Aljazeera dan RT.
Keuntungan kaum murabihun dibanding dengan para pejabat yang super sibuk adalah konsumsi informasi yang lebih banyak. Saya yakin, saya punya lebih banyak waktu dan menghabiskan waktu menonton berita Covid-19 dari berbagai penjuru dunia lebih banyak dari para menteri dan staf ahli.
Maka, jangan heran kalau murabihun seperti saya sering gatel lihat ulah para pejabat kita yang tampak tidak well informed. Sejak hari pertama konferensi pers menkes, sebelum kemudian diganti Pak Jubir Yuri di hari berikutnya, saya sudah gatel pingin ngelempar sepatu ke pak menteri di TV. Kenapa? Karena saya sudah lihat konferensi pers Menteri Kesehatan Singapura di CNA, menteri kesehatan Korea di Arirang. Beda banget! Maka saya bersorak gembira begitu besoknya sudah diganti jubir. Minimal wajahnya serius!
Dari Tv-Tv internasional itu pula saya belajar untuk tidak meyakini data-data yang disajikan Pak Yuri, meskipun sudah berwajah serius. Gimana mau percaya data agregat harian jumlah pasien positif, PDP, ODP, kalau masing-masing data itu tidak 'lengkap' untuk dicerna. Positif dari berapa tes swab yang sudah dilakukan? ODP klaster mana? Cek toko sebelah: di Singapura, data pasien positif itu disajikan dalam tiga kategori: ringan, sedang, dan kritis. Klasterisasi juga berjalan dengan baik.
Di sini, karena biasa baca informasi yang tidak lengkap dari pemerintah, ada orang yang bilang begini, "Itu yang tidak percaya pada data pemerintah, apakah punya data bahwa jumlah yang terinveksi memang lebih besar?", logikanya, katanya, "jika kasusnya banyak, mengapa jumlah pasien di rumah sakit tidak membludak?"
Mereka ini mungkin tidak paham analogi sebagai metode berfikir yang sah. Jika kita diminta data, ya, jelas tidak punya data. Makanya kita teriak-teriak agar pemerintah membuka data! Kita hanya bisa bicara dengan analogi data di negara- negara lain. Berdasarkan data di negara-negara lain dapat disimpulkan: semakin besar jumlah test, semakin besar jumlah kasus. Test kita termasuk terendah di dunia; maka jumlah pasien yang rendah itu tidak bisa diterima berdasarkan data analogi tadi.
Mengapa tidak ada antrian? Ya karena tidak ada tes yang memadai. Maka pasien positif dengan gejala ringan dan sedang mungkin tidak ke rumah sakit. Ngalur ngidul watuk, wohang-wahing nyebar droplet, tetapi tidak menumpuk di rumah sakit. Cukup minum Tolak Angin. Belum lagi kalau kita bicara mereka yang tanpa gejala (asimtotik). Walah, uakeh mas!
Wis lah. Wengi. Semoga keadaan negeri ini lebih baik. Doa saya hari ini: semoga puasa besok kita diselamatkan dari kebijakan yang menggoda kita untuk misuh.
Posting Komentar