Saya mengenal Didi Kempot hanya dari jauh sebagai penggemar. Tetapi saya merasa sangat dekat, lewat lagu-lagunya yang saya sukai. Meskipun saya bukan penyanyi, tidak bisa nyanyi, tetapi saya menghafal banyak lirik lagunya.
Berbeda dengan penggamar "khalaf", generasi milenial, yang mengenal Didi Kempot melalui internet; saya menjadi penggemar Didi Kempot lewat radio dan kaset. Saya bagian dari generasi 'salaf' yang jatuh cinta dengan lagu-lagu campur sari setelah dipopulerkan oleh almarhum Manthous pada awal 1990an. Berbeda dengan generasi khalaf yang mengenal Didi Kempot lewat Pamer Bojo pada dua tahun terakhir; saya mengenal Didi Kempot lewat Stasiun Balapan ketika sedang jatuh cinta dengan Nyidam Sari, Lingsir Wengi, Wuyung, dan Anoman Obong.
Jadi, sebagai penggemar yang 'mengenal dari jauh' saya sebenarnya tahu diri untuk tidak menulis sesuatu yang "berlebihan". Sebab, ada banyak orang yang menulis 'obituari' tentang Pakdhe Didi Kempot, tetapi misinformasi tentang karya-karyanya, yang membuat kita jatuh prasangka si penulis sebenarnya tak tahu banyak tentang Pakdhe. Penulis dadakan, meskipun niat baiknya kita apresiasi. Ada sebuah tulisan, misalnya, yang secara salah menyebut sebuah lagu yang sebenarnya bukan karya Pakdhe Didi tetapi "disyarah" secara mendalam sebagai karya Pakdhe Didi. Saya tidak ingin mengulangi kenaifan yang sama. Semoga.
***
"Entah dari mana nama itu muncul. Saya tanya papa juga tidak tahu," begitu cerita Mbak Saputri kepada saya soal beredarnya nama Dionisius Prasetyo sebagai "nama asli". "Jenengku kawit cilik yo Didik Prasetyo, kuwi hoaks Ma!" kata Didi Kempot kepada istrinya.[1] Secara dokumen, seperti akta dan KTP, nama ini juga yang resmi tercantum.
Didi Kempot lahir di Solo, 31 Desember 1966. Ia adalah putra dari pelawak Ranto Edi Gudel (dikenal dengan Mbah Ranto) dan adik kandung Mamiek Prakoso, pelawak Srimulat. Kini, ia kita kenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu campursari. Lagu-lagunya bertema patah hati dan kerinduan, tetapi iramanya enak buat goyang. Motto Sobat Ambyar adalah "Patah hati, ya dijogeti!".
Seperti sudah diceritakan di banyak sumber, perjalanan karirnya sebagai penyanyi tidaklah mudah. Ia memulainya dari jalanan. "Saya merasa tidak cocok sekolah, saya sering mbolos dan dengan begitu saya berbohon kepada orang tua saya. Maka, meski takut dimarahi, akahirnya saya putuskan terus terang untuk berhenti sekolah dan hidup di jalanan."[2]
Tidak seperti yang ia duga, ayahnya merestui. "Teruslah berkarya, rejekimu nanti akan datang sendiri."[3] Kurang lebih begitu pesan Mbah Ranto yang tahu persis dunia seorang seniman. Maka, demikianlah hidup dijalani Pak Dhe Didi. Ia telusuri jalanan, dari satu kota ke kota lain, mungkin hanya Solo dan Jakarta yang disebutkan dalam banyak cerita perjalanan hidupnya, tetapi saya yakin sewu kutho yang dilaluinya untuk kemudian menemukan sukses.
Kita perlu menghitung perjalanannya ke Belanda dan Suriname, sebelum sukses di dalam negeri. Kadang memang ajaib: di negeri sendiri tidak dihargai, tetapi di luar negeri dipuji-puji. Sejak 1993, ia mangung ke sana kemari di Belanda dan Suriname. Maka, Sewu kutho bukan sekedar judul lagu atau kata-kata metafor, itulah perjalanan panjang karir Pak Dhe.
Pakdhe dan Mbak Saputri di Belanda |
Jika Manthous sang Maestro Campursari menulis puluhan lagu (4), Didi Kempot melahirkan hampir 800 karya, mayoritas dalam bahasa Jawa dan beberapa biji dalam Bahasa Indonesia. Tidak semua karyanya mungkin kita kenal, sebagian bahkan kita kenal kemudian hari. Lagu layang kangen yang kini kondang bersama Pamer Bojo, misalnya, termasuk lagu yang pertama diciptakan.
***
Entah apa yang ada di pikiran orang yang mengedarkan gambar palsu jenazah di dalam peti mati warna putih itu sebagai jenazah Pakdhe Didi. Saya pertama mendapatkan dari dua grup WA dosen di UIN, dishare oleh dua orang berbeda. Ya, grup dosen: grup yang dalam hal sharing hoax sering tidak ada bedanya dengan grup WA lain. Hoax dibagi, lalu tidak minta maaf kalau dikoreksi. Paling cuma ngeles, "saya hanya berbagi."
Para penyebar hoax jenazah berdasi mungkin hatinya penuh keyakinan bahwa orang non-Muslim yang meninggal tidak layak diratapi, sebesar apa pun jasanya bagi masyarakat dan bangsa ini. Dugaan saya, mereka ini sejenis dengan mereka yang bersorak ketika ibunda Pak Jokowi meninggal atau mereka yang menyesali ketika masyarakat sedih melepas Glenn Fredly.
Nama yang tidak jelas asal-usulnya itu, Dionisius, langsung disambar sebagai bukti bahwa ia non-Muslim tanpa melihat riwayat bahwa Pakdhe Didi adalah muslim sejak lahir.[5] Padahal, jika mereka mau cek sebentar saja, mengabaikan nafsunya untuk tidak perlu meratapi kematian non-Muslim, akan gampang sekali menemukan jejak keislaman Pakdhe Didi.
Jauh hari dulu, Pakdhe menggelar pentas amal dan menyumbang untuk Rumah Sakit NU di Kendal [6]. Uang dari Konser Amal dari Rumah yang digelar di Kompas TV beliau salurkan lewat NU dan Muhammadiyah [7]. Kita juga mengetahui jejak-jejak kesalehan Pak Dhe lewat masjid yang sudah dibangun; lewat keyakinannya bahwa ia sukses karena wirid istrinya; lewat rencana umroh sekeluarga yang belum terwujud; lewat rencana duet dengan Habib Syech; dan lewat kesaksian orang-orang dekatnya.
Pakdhe memang tampak tidak pernah 'merayakan' keislamannya. Ia tidak berislam lewat jalur para muhajirin yang banyak membuat orang merasa wajib mengubah penampilannya menjadi kearab-araban: memelihara Jenggot, memakai gamis, atau memakai gelar Abu-abuan. Mungkin karena dia merasa 'Ansor', tidak perlu hijrah.
Sebagai orang Jawa, seperti orang-orang Jawa pemeluk pertama Islam di zaman para wali, Islam itu ia kenal sebagai nilai yang melengkapi dan menyempurnakan; bukan nilai pengganti yang menghapuskan. Bagi orang Jawa, subtansi Islam tidak akan jauh dari kejawaan; spritualitas Islam senafas dengan spritualitas Jawa.
Banyak orang muslim Jawa yang 'memilih' tidak pergi haji, mungkin sekedar mencontoh para sultan Jawa atau punya alasan sendiri. Pak Dhe Didi juga belum sempat menunaikan ibadah haji tetapi orang-orang yang ia hormati dan cintai, orang tua dan mertua, sudah ia berangkatkan ke tanah suci. Ia lakukan itu pada tahun 1996, tahun ketika ia 'baru menjadi', yang secara ekonomi mungkin belum tajir-tajir amat. Jika amal soleh pahalanya bisa dilipatkan tujuh dan seratus kali, maka mungkin tanpa haji pun pahala haji yang akan dihisab untuk Pak Dhe sudah ratusan kali.
Sebagai seniman, kebaikan Jawa yang termanisfestasikan lewat syair-syair metaforik dalam karya Didi Kempot tidak kalah dengan syair lagu Ya Tab-Tab yang mendadak dianggap Islami hanya karena berbahasa Arab. Demikian juga kemuliaan Jawa dalam wujud surjan dan beskap yang sering ia kenakan; tidak perlu dipertentangkan dengan gamis. Blangkon yang menutup kepalanya tidak perlu diganti dengan kefiyah.
Kalaupun bukti kesalehan itu Anda tuntut juga dalam bentuk lagu religi, Anda mungkin akan kaget bahwa Pakdhe mempunyai satu album religi. Sebagimana penampilannya yang njawani, lagu-lagu religi yang ia pilih juga mengukuhkan harmoni Islam dan Jawa dalam bentuk epiknya. Islam, dalam lagu-lagi itu, disajikan dalam terma-terma Jawa seperti Allah dengan sebutan Gusti, fana dengan istilah mampir ngombe.[8] Mungkin inilah alasannya mengapa Pakdhe juga mewakafkan sebuah lagu yang mempromosikan Islam Nusantara [9]:
Dari itu mari kawan; Ikut NU dan ulamanya
Tuk membangun Islam Nusantara; Agar hidup nyaman sejahtera
Lewat salah satu lagu religinya, kita juga menjadi tahu bahwa Pakdhe Didi Kempot sepertinya sudah tahu bahwa umurnya tidak akan lama. Dalam lagu Mampir Ngombe, beliau mengingatkan soal waktu kita yang terbatas.
Wektu kito kuwi ono watese
Jo sembrono yen migunaake
Ra sepiro cilakane ing ndunyo
Luwih loro mbesuk yen mlebu nroko
Malam ini mari kita bersaksi atas kebaikannya. Kita nyatakan kepada semesta betapa kita telah kehilangan orang yang kita cintai setulusnya, orang yang kalau kita boleh memilih tidak akan kita biarkan meninggalkan kita sedemikian cepatnya. Kita masih ingin mendengar karya-karyanya, tetapi kita harus ikhlas bahwa banyak orang baik yang memang tidak perlu umur panjang untuk membersamai kita.
Nyatanya: karya dan kebaikan mereka hidup lebih lama dari umur kita, yang hari ini berduka atas kematiannya.
--------
1. Obroalan saya via telpon dengan Mbak Saputri, 9 Mei 2020
2. Saya ambil dari Satu Jam Bersama Didi Kempot, TvOne
3. Idem
4. http://journal.uny.ac.id/index.php/imaji/article/download/6705/5761
5. Chat WA saya dengan Eny, putri Pak Dhe, 11 Mei 2020
6. https://www.ayosemarang.com/read/2020/02/13/52190/didi-kempot-sumbang-rp-10-juta-untuk-rsnu-kendal
7. https://detiknews.id/lifestyle/pesan-didi-kempot-cinta-tanah-air-dan-peduli-covid-19-sumbang-7-6-miliar/
8. Album Religi: https://www.youtube.com/watch?v=caHHmmtTNkE
9. Lagu Islam Nusantara https://youtu.be/no2jG0XlUpc
Posting Komentar