Semalam, saya menyelesaikan review 80-an tulisan esai mahasiswa saya. Tugas pertama semester ini. Hasilnya? Belum memuaskan sama sekali. Masih banyak langkah yang harus ditempuh untuk menjadi tulisan yang 'renyah'.
Tetapi, satu hal positif yang dapat saya catat adalah tidak ditemukannya plagiarisme. Para mahasiswa sudah betemu saya untuk kedua kalinya. Mereka tahu persis bagaimana saya menghukum keras mereka yang plagiat. Mereka juga paham orisinalitas 'cerita' (berdasarkan fakta dan data yang mereka lihat sendiri) jauh lebih penting daripada kemewahan kata-kata dan referensi yang tak pernah dibaca sendiri.
Jadi, secara pondasi etis, mereka sudah lulus dan itu kabar baik.
Kembali ke kemampuan menulis esai. Saya mencatat beberapa kelemahan yang menjadi PR untuk mereka:
- Kurang spesifik dalam memilih topik. Percayalah, esai yang baik itu selalu spesifik. Sebab, Anda hanya akan menulis kurang dari 1500 kata. Semakin spesifik, semakin 'mentes' isinya.
- Tidak tahu dari mana mengambil sudut pandang. Tulisan berisi banyak cerita. Kalau dalam novel, seperti tanpa tokoh. Hambar jadinya!
- Bagi yang sudah spesifik memilih topik, gagal memperkaya detil. Topiknya menarik, judulnya mengundang ingin tahu, begitu dibaca... dangkal! Komentar saya untuk mereka, "Kamu pelit. Punya cerita menarik hanya jadi 1-2 paragraf!"
- Tidak punya struktur. Ada yang punya topik menarik, detil, tetapi semua hanya disajikan 'mak breg', tanpa struktur! Susah bagi pembaca untuk menikmati. Ibarat soto, mangkok disajikan ke kita sudah diaduk jadi satu. Bukankah salah satu kenikmatan makan soto itu kalau di awal kita melihat 'susunannya' terdiri atas daging diiris tipis dengan tekstur empuk, mie putih, kobis, tomat, irisan jeruk nipis? Rasanya mungkin sama saja sampai di mulut, tetapi 'kenikmatan' adanya di imajinasi!
Posting Komentar