Soal "biaya jurnal", saya akan menulis sendiri topik ini lain kali. Saya sekarang mau cerita tentang "harga" jurnal ilmiah. Jika Anda editor jurnal ilmiah, berapa harga jurnal Anda?
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dan mengobrol dengan salah satu editor jurnal terakreditasi Sinta-2 dan tentu saja belum terindeks Scopus. Kita tidak lagi ngobrol soal "tekanan akdemik" mengelola jurnal, sudah biasa. Nah, yang ia ceritakan adalah bagaimana ia harus berhadapan dengan tekanan-tekanan non-akademik.
Suatu ketika, ia bercerita, ada seorang 'senior', orang penting di yayasan, meminta editor untuk menerbitkan sebuah artikel. Artikel itu ditulis oleh anak si senior yang memerlukannya sebagai syarat kelulusan di sebuah program studi. "Tolonglah sekali ini saja. Saya tidak pernah meminta tolong kan sebelumnya?"
Orang yang 'peka' tentu paham isyarat itu. Beliau sudah banyak menyumbang untuk yayasan, masak minta tolong sekali saja tidak dikabulkan?
Cerita semacam itu bukan cerita unik. Mungkin kalau teman-teman editor mau berbagi, kita bisa menulis buku bersama: suka duka editor jurnal di Indonesia. Jurnal ilmiah itu jelas publikasi yang sangat strategis. Nasib dosen tergantung sepenuhnya kepada jurnal. Nasib para calon magister dan doktor kini juga banyak tergantung kepada jurnal. Maka, di situlah ujian integritas akademik dipertaruhkan.
Jika kita tidak bisa bertahan, harga jurnal kita bisa jatuh seharga "ijazah anak senior", "pangkat kawan sekampung", "gelar guru besar saudara sepaklik", dan seterusnya. Kalau kita peka, jejak-jejak itu ada koq di artikel yang terbit.
Maka, ketika ada teman yang mengritik keras di Facebook sebuah jurnal karena menerbitkan tulisan yang ia anggap tidak bermutu, tidak sesuai dengan kelasnya sebagi jurnal terindeks Scopus, saya sempatkan ngobrol langsung ke teman itu bagaimana kami, bisa memaklumi keputusan editor jurnal tersebut: mungkin mereka tidak punya pilihan lain.
Pernah mengalami sendiri? Jangan tanya. Saya sih inginnya seperti Tugu itu. Kokoh di situ dari dulu.
Posting Komentar