Museum Sejarah Purbakala Pleret letaknya hanya 4 KM dari rumah. Saya dan anak ragil sebenarnya tadi tak berniat mengunjunginya. Kami merencanakan perjalan yang lebih jauh. Tetapi baru sebentar keluar dari rumah, hujan sudah mengguyur. Dua kali kami harus berteduh sampai akhirnya kami putuskan untuk memutar arah pulang.
Belum sampai ke arah rumah, langit berubah cerah dan kami putuskan untuk mengubah arah lagi, belok ke Pleret, ke situs-situs yang ada di Pleret. Menjelang 100 meter dari Museum Pleret, hujan lebat kembali mengguyur dan kami harus berteduh lagi di sebuah bengkel motor. Perjalanan kami lanjutkan begitu hujan berubah menjadi rintik-rintik kecil. Toh tinggal sekayuh dua kayuh sudah sampai.
Museumnya sepi. Bangunan utama sedang tidak menerima pengunjung karena dalam proses perbaikan. Saya meminta izin satpam untuk melihat koleksi yang ada di bangunan terbuka di sisi timur museum. Bukan hanya diiizinkan, tak lama setelah itu 'mbak-mbak' arkeolog yang bertugas di museum malah menemui kami dengan ramah.
Hujan kembali mengguyur deras tetapi waktu berjalan cepat karena Mbak Avi si arkeolog dengan antusias menjelaskan berbagai koleksi kepada si ragil. Di banguna itu, ada beberapa umpak bekas zaman keraton Mataram Islam dan ada beberapa patung yang diperkirakan bagian dari candi. Ada satu stupa besar yang menunjukkannya sebagai bagian dari candi Budha, tetapi sisanya adalah patung-patung dari Candi Hindu. Koleksi ini berasal dari berbagai desa di sekitar Banguntapan, Piyungan dan Pleret sendiri. Karena ditemukan hanya dalam bentuk satuan-satuan yang saling terpisah, tidak ada informasi tentang bangunan aslinya seperti apa.
Saya sendiri menduga bahwa patung, yoni, lingga, dan berbagai bongkahan batu potongan dari candi itu mungkin hanya berasal dari 'langgar-langgar' di rumah atau sawah penduduk zaman Hindu-Budha. Saya membayangkannya seperti di Bali itu, yang setiap rumah punya 'candi' (tempat ibadah kecil). Saya sebut 'langgar' karena saya juga menduga bahwa apa yang kemudian oleh orang Islam disebut langgar adalah pengaruh dari tradisi Hindu-Budha ini.
Di tempat saya berasal, langgar itu umumnya dulu kecil-kecil. Dulunya, hanya untuk salat berjamaah satu keluarga. Jamaahnya bertambah dengan bertambahnya keluarga turunan. Langgar di tempat saya adalah milik buyut saya. Dan begitu pula langgar-langgar lain. Biasanya 'santri' yang punya langgar begitu. Sekarang, langgar-langgar berubah jadi musala. Bangunannya pun rata-rata sudah diperluas. Bekas pengaruh 'sanggar' (seperti di rumah-rumah Bali) menjadi semakin hilang karena musala menjadi milik komunitas yang lebih besar dari keluarga.
Itu hanya hipotesis saya sih. Mungkin Anda punya pendapat berbeda.
Posting Komentar