Pelajaran dari Plagiarisme USU #3
Dalam tulisan sebelumnya, saya menjanjikan untuk membahas praktik norak republikasi skripsi/tesis/disertasi. Terkait dengan itu, saya ingin menyebut praktik "publikasi rombongan."
Sebagaimana halnya dengan republikasi skripsi/tesis/disertasi, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan publikasi rombongan alias "publikasi dengan pengarang banyak". Jadi, tidak perlu ditanya "apa salahnya?" Saya akan selalu tegas menjawab tidak ada yang salah. Co-authoring itu sah, halal, dan tayyib seperti Vaksin Cinovac.
Masalahnya ada di praktik 'aneh' dalam co-authoring itu. Keanehan itu tampak dalam praktik co-authoring republikasi skripsi/tesis/disertasi. Mengapa aneh? Sebab, skripsi/tesis/disertasi itu adalah 'tugas akhir mahasiswa'. Artinya, karya mahasiswa! Anehnya lagi, di sejumlah perguruan tinggi republikasi skripsi/tesis/disertasi membuat author-nya berubah: dari yang semula single author (mahasiswa) menjadi double sampai 'trouble' authors, salah satunya: pembimbing skripsi.
Sekali lagi, Anda jangan salah paham. Saya tidak mengkritik co-authoring-nya. Saya hanya menyoal peran yang berubah dari pembimbing menjadi author. Pembimbing itu ya pembimbing, bukan author! Kalau saja kampus membuat peraturan bahwa skripsi/tesis/disertasi adalah 'tugas bersama' dosen dan mahasiswa, itu sih oke-oke saja. Saya sama sekali tidak keberatan!
Praktik aneh lain dari co-authoring kita sebut saja sebagai "arisan authorship". Jadi, naskah itu sebenarnya ditulis oleh satu orang, tetapi ketika publikasi, akan muncul penulis kedua, ketiga, dst. Peran penulis kedua sampai keseratus tidak penting. Bisa jadi hanya titip nama karena lebih senior. Bisa jadi hanya titip nama karena first author baik hati dan tidak sombong. Bisa jadi karena ... arisan: jika si A mempublikasi, B dan C akan ditulis sebagai author kedua dan ketiga. Sebaliknya kalau B yang mempublikasi, C dan A jadi co-author.
***
Kasus Rektor USU menunjukkan adanya praktik ini. Di salah satu pembelaannya, ia menyebutkan bahwa salah naskah publikasi yang divonis auto-plagiat itu terbit tanpa sepengetahuan dirinya. Koq bisa? Ketika dicek, kita ketemu bahwa naskah itu ditulis oleh tiga authors.
Menurut ceritanya, naskah itu ia (sebut saja A) kirim melalui email ke Dosen B. Dosen B tidak menjawab email itu, A berkesimpulan naskah tidak punya nasib. Maka ia submit sendiri naskahnya tanpa memberitahu B. Berapa author? Tentu saja A sendiri.
Di lain pihak, B, tanpa memberitahu A juga men-submit naskah itu ke jurnal lain. Berapa author? Tiga! A sebagai penulis, B sebagai pengirim, dan ditambah satu nama lagi, C yang entah perannya apa.
Fakta bahwa mereka tidak melakukan komunikasi paling mendasar, soal submit dan tidak submit saja membuktikan praktik tidak etis publikasi itu. Co-author itu syaratnya "wajib terlibat sejak dari merancang riset sampai pertanggungjawaban saat terbit". Kalau cuma submit saja bisa bisa menjadi co-author, betapa melencengnya para akademisi itu dari etika dan integritas!
Posting Komentar