Kasus plagiarisme di Univesitas Sumatera Utara, terlepas dari situasi polititik personal dan lokal yang menyertainya, menggarisbawahi banyak persoalan publikasi ilmiah di Indonesia. Saya belum membaca SK rektor-nya, tetapi saya sudah membaca dengan seksama pembelaan rektor terpilih yang dituduh plagiat itu (terlampir di bawah).
Saya tidak akan mengomentari secara khusus kasus ini dan hanya ingin mengajak Anda memperhatikan masalah-masalah yang terkait dengan etika dan praktik publikasi ilmiah di negeri kita.
1. Self Plagiat = Republikasi
Kalau Anda mengacu ke Permendiknas, seperti pembelaan rektor terpilih, memang tidak disebutkan secara eksplisit soal definisi self plagiarisme atau auto plagiat dalam definisi plagiat. Sebab apa yang disebut self-plagiarism itu hakikatnya terkait dengan 'republikasi' atau publikasi dua kali sebuah hasil riset.
Dalam hal republikasi pasal 'dosanya' bukan pada 'pencurian karya sendiri' tetapi 'penipuan terhadap orang lain.'
Siapa yang ditipu? Pertama adalah para editor jurnal. Ingat, salah satu rukun publikasi ilmiah adalah novelty (kebaruan). Editor berharap tulisan yang ia seleksi itu baru. Kalau Anda mengirimkan karya 'bekas', 'daur ulang', padahal editor berharap menerima naskah baru, maka Anda menipu editor!
Anda mungkin membela diri, kan editor harusnya menggunakan mesin pendeteksi plagiat? Ya, bisa saja begitu. Tetapi siapa bilang mesin pendeteksi plagiat itu akurat? Dalam pengalaman saya sebagai editor, sudah berkali-kali kami nyaris tertipu artikel dalam bahasa Inggris yang pernah dipublikasikan dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Mesin tidak bisa mampu mendeteksi similaritas nasakah dalam dua bahasa.
Maka, upaya menyalahkan editor itu sama dengan upaya menipu. Sebab, jika ingin jujur, yang terjadi justru sebaliknya: bantulah editor untuk menjamin otensitas dan novelty karya Anda.
Akhirnya, jika naskah itu lolos untuk publikasi, korban kedua Anda adalah pembaca. Sama seperti editor, pembaca juga berharap menemukan sesuatu yang baru dalam publikasi ilmiah sekelas jurnal (untuk buku, beda harapan). Jika jurnal itu open access, mungkin pembaca hanya rugi waktu, bagaimana jika jurnal itu berbayar dan harga akses sampai puluhan dolar?
Jadi, kalau ada orang yang berargumen, "kalau saya terbitkan naskah berkali-kali, kan saya tidak merugikan orang lain", sekarang semoga Anda tahu bahwa Anda telah merugikan orang lain.
***
Akan dilanjut dengan tema berikut:
- 2. Republikasi Skripsi/Tesis/Disertasi
- 3. Publikasi Rombongan
- 4. Submit ganda
Posting Komentar