Kasus self-plagiarism USU melibatkan praktik yang dalam satu titik sebenarnya normal tetapi di titik lain bisa jadi norak. Kita mulai dari yang normal.
Dulu, sebelum zaman internet, skripsi/tesis/disertasi itu menjadi hasil riset yang menumpuk di meja penguji, ruang dosen, dan di perpustakaan universitas. Jumlah cetaknya terbatas. Mungkin hanya satu copy di perpustakaan. Dalam keadaan demikian, skripsi/tesis/disertasi menjadi barang mati, tidak terbaca oleh umum. Paling banter, dibaca adik kelas, untuk apesnya dijiplak bagian bab satu untuk menulis skripsi generasi berikutnya, dan berikutnya.
Dalam keadaan seperti itu, skripsi/tesis/disertasi dianggap 'belum dipublikasikan'. Mengapa? Karena tidak bisa diakses 'publik'! Maka, timbullah upaya 'publikasi' agar naskah-naskah itu terbaca. Zaman dulu (lagi-lagi, beda dengan zaman sekarang), ketika publikasi dimonopoli penerbit besar, sangat langka ada tugas akhir kuliah diterbitkan.
Kondisi itu terjadi hampir di seluruh dunia. Hasil riset yang kadang berdarah-darah itu hanya berhenti di perpustakaan dan meja penguji. Hanya segelintir yang bisa terbit. Di Indonesia, di bidang ilmu saya, hanya skripsi taufik Adnan Amal yang saya tahu dan diterbitkan Mizan. Atau, skripsi Mas Abdul Gaffar Karim dari unversitas sebelah yang diterbitkan LKiS.
Dari kondisi itulah maka kita dulu bangga kalau skripsi/tesis/disertasi bisa 'dipublikasikan'. Definisi publikasi? Dicetak dalam jumlah banyak dan dilempar ke pasar oleh penerbit.
Nah, masalahnya, definisi publikasi yang sedemikian ini kuno dan sangat teknis. Sebab, secara substansi sebuah naskah disebut 'dipublikasi' ketika naskah itu bisa diakses oleh umum dan dengan begitu sah untuk dikutip. Mungkin di tempat Anda masih ada orang yang bertanya, "Apakah skripsi boleh di-citasi?" Ini pertanyaan aneh. Tentu saja boleh. Lha wong opini di koran saja dapat dikutip, apalagi skripsi yang dibimbing para dosen ahli dan diuji para maha guru.
Dengan kata lain, secara substansi skripsi/tesis/disertasi itu adalah karya publikasi: bisa dibaca publik dan dicitasi. Apalagi zaman sekarang. Skripsi/tesis/disertasi sudah ada di repositori digital perpustakaan, dapat dibaca oleh siapa saja di seluruh dunia. Saya sering ambil dan baca disertasi dari universitas di luar negeri untuk memperkaya literature review.
Pembelaan rektor terpilih USU, bahwa karyanya belum dipublikasi karena belum ada ISBN adalah argumen yang super teknis ala kenaikan pangkat. Anda tahu Google Play Book? Anda bisa menerbitkan di Google Play Book tanpa ISBN, dibaca seluruh orang di dunia, dicitasi, dan dapat duit. Identitas karya Anda bukan ISBN, tetapi diberi sendiri oleh sistem Google Play Book.
Dengan demikian, menerbitkan skripsi/tesis/disertasi dalam artikel jurnal adalah republikasi, penerbitan ulang. Saya kira ini crystal clear ya?
Lalu, apa salahnya republikasi? Tidak ada yang salah jika dua syarat Anda penuhi. Pertama, Anda jujur kepada editor (dan itu berarti kepada pembaca juga) bahwa artikel Anda bersumber dari skripsi/tesis/disertasi. Tulislah di artikel itu, dapat di catatan kaki atau catatan akhir, bahwa artikel ini bersumber dari skripsi/tesis/disertasi. Kedua, si editor mau menerbitkan. Sebab, tidak semua jurnal mau menerbitkan naskah daur ulang.
Titik naifnya republikasi ada di mana? Nanti kita bahas dalam tema berikutnya.
***
Tulisan berikutnya:
- 3. Publikasi Rombongan
- 4. Submit ganda
Tulisan sebelumnya:
artikel lanjutan dari tulisan ini sudah ada belum ya? Menarik ini
BalasHapusPosting Komentar